ventisei ②⑥

3.1K 411 12
                                    

─ ✰್

'Konferensi pers yang diadakan pengusaha Suh membuat saham Suh melonjak turun. Perceraian yang tiba-tiba antara Johnny Suh dan sang istri tak ayal membuat masyarakat kecewa.

Nasib anak sematawang Suh pun tidak ada yang tau, entah dimana anak cantik yang diusir oleh keluarganya sendiri.

Banyak masyarakat yang sangat kecewa dengan perlakuan Pengusaha Suh pada sang anak----'

Wanita yang dari awal menonton acara berita itu segera mematikan tv saat suara pembawa berita mengatakan perceraian antara pasangan konglomerat itu.

Mata wanita itu menatap lurus pada layar tv yang sudah mati, matanya berkedut dengan kekehan sinisnya. Kejadian seperti ini sudah ia pastikan akan terjadi, jadi ia sudah tak terkejut lagi. Bahkan kedua tangan lentiknya sudah menari di layar ponsel dengan gerakan cepat.

"Cari tau tempat tinggal nyonya Tiyana setelah perceraiannya dengan tuan Suh." Ucap cepat wanita itu saat mendengar langkah kaki menggema di rumah megah nan sepi itu.

"Baik nona."

"Dan pastikan juga keluarga Jevanka... Yang sudah saya beritau."

"Baik."

"Sudah itu saja, terimakasih. Oh... Di mana majikan mu itu sekarang?"

"Nona sedang bermain di taman belakang bersama tuan muda."

"Oke, saya akan menyusul mereka."

Dengan anggunnya, wanita itu berjalan menuju taman belakang di mana orang-orang tersayangnya sedang berkumpul. Ia akan melupakan semua masalah yang terjadi sejenak, sekarang ia akan bersenang-senang lebih dulu.


💮💮💮


Pria tinggi dengan badan yang perlahan mulai kurus, serta cekungan di bawah matanya sangat kentara jika ia tidak merawat diri. Sejak kehilangan anak dan istrinya setahun lalu, kehidupannya semakin berat untuk dijalani. Banyak sekali kesialan yang ia alami selama setahun dengan cepat. Ia berpikir karma yang ia dapat berproses begitu cepat.

Dalam setahun saja, keluarganya hancur. Kedua orangtuanya yang lebih sering berantem sejak ayahnya di pecat. Bisnis cafe miliknya yang bangkrut dan terlilit hutang, karena kecerobohan karyawannya yang mengelola uang. Adiknya terkena bullying karena tersebarnya berita tidak mengenakkan tentang keluarganya.

Pada akhirnya, Jeno harus berhenti kuliah dan kerja serabutan dengan ijazah SMAnya. Tabungan miliknya dan kedua orangtuanya tidak akan bisa untuk membiayain dirinya kuliah sampai akhir. Disayangkan memang, tapi ini sudah jalannya. Ia tak boleh egois sedangkan dirinya masih harus memikirkan sang adik.

"Woi Jen, ada teman lo tuh nyariin. Sekalian lo pulang gih, shift lo udah mau abis juga."

Jeno tersadar dari lamunannya saat bahunya depukul cukup keras oleh teman kerjanya. Ia mengucap terimakasih sebelum keluar dari kasir menuju ruang ganti.

Helaan napas panjang yang terdengar sangat lelah itu Jeno keluarkan, saat lagi-lagi Mark menunggunya di depan minimarket tempatnya bekerja.

"Ngapain lagi?" Tanya Jeno dengan malas.

"Santai, gua masih temen lo Jen." Jawab Mark saat wajah Jeno begitu marah. "Penawaran gua buat lo kerja di kantor kakak gua masih berlaku-- calm"

Mark memotong dengan cepat saat Jeno akan menyelanya. "Gue bukan kasian sama lo man, gue kasian sama Alan. Dengan lo kerja serabutan kayak gini gak akan bisa menuhin kebutuhan Alan, inget perjalanan Alan masih panjang dan itu ngebutuhin biaya yang gak banyak."

Hening setelahnya, Mark maupun Jeno tak ada yang bergerak dan berbicara lagi. Hanya hembusan angin sore yang menerpa kedua wajah tampan pria itu.

"Ya, whatever you do. Gue cuma kasih lo pekerjaan dengan gaji-- ya bisa menghidupi lo kedepannya. Gue masih peduli karna lo masih teman gue..."

Mark menghela napas, menatap lalu lalang kendaraan sore yang bertepatan dengan jam pulang kerja. "Lo punya otak pinter, kenapa gak lo manfaatin kan. Ijazah SMA lo itu, bisa lo gunain buat kerja di tempat yang lebih layak, dengan bakat lo dan otak encer lo itu."

Mark menepuk kasar bahu tegap Jeno. "Gue tunggu sampe besok keputusan lo. Inget, lo itu udah jadi bapak anak satu. Anak lo sama istri lo nunggu buat lo jemput--- kalo lo emang masih mau cari mereka."

"Gue duluan."

Lagi-lagi pundak Jeno menurun dengan banyaknya beban yang ia panggul. Matanya memejam memikirkan kehidupannya yang begitu rumit. Kedua kakinya mengambil langkah pelan menju tempat kerja selanjutnya.

Dunia yang sibuk tak membuat Jeno terganggu, rasanya hanya sunyi. Dunia tidak akan peduli dengan dirinya yang tengah sedih. Dunia akan terus berjalan semestinya tanpa ingin tau apa yang Jeno rasakan.

Langkahnya terhenti saat melihat sekumpulan anak kecil tengah bermain dengan orangtua mereka yang mengawasi dari jauh. Matanya berbinar melihat kebahagiaan sederhana anak kecil yang tengah bermain kejar-kejaran. Matanya kini mulai berair dengan setitik air mata perlahan turun, saat orangtua itu memperhatikan anak-anak mereka dengan penuh kasih.

Seandainya, saat remaja ia tidak brengsek, mungkin ia masih akan mejalin kasih yang manis dengan Nana. Memperjuangkan wanita itu tanpa adanya dendam dihatinya.

Benar yang dikatakan sang ibu. Hidup tidak akan tenang jika hati masih memendam rasa dendam dan sakit hati. Hidup akan lebih ringan dijalani jika kita ikhlas dengan masa lalu.

Mungkin ia akan memikirkan penawaran Mark. Jika uang terkumpul lebih cepat, ia bisa mencari kedua kasihnya lebih cepat juga. Menjemput kedua cintanya untuk hidup bersama dan memulainya dari nol. Ia akan berusaha untuk bangkit dan akan menghidupi Nana serta anaknya dengan layak. Ia janji akan itu.

─ ✰್

Haii heheh

Luce Luminosa ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang