diciotto ①⑧

3.5K 511 126
                                    

─ ✰್

Seminggu sudah, Nana mencoba bertahan bersama sang janin. Bertahan dari sang ayah yang terus mencoba memberinya obat penggugur. Dan bertahan dari semua cacian orang-orang karena, berita tentangnya sudah tersebar luas di sekolah.

Nana hanya mempunyai dirinya sendiri, ia hanya bisa berpegang pada dirinya sendiri dan ia hanya bisa mempercayai dirinya sendiri. Nana tidak mempunyai siapapun sekarang, disaat semua keluarganya terus menghakimi dirinya.

"Aku harus apa?" Tanya Nana pada janinnya. Ia tidur meringkuk di atas kasur dengan ruangan yang sangat gelap.

Nana terkekeh pilu. "Kita bertahan sama-sama ya." Tangisnya seketika pecah kembali, tangis yang terdengar begitu menyakitkan.

Hingga pintu kamar yang terbuka, Nana memilih abai. Lagipula, tak akan ada yang peduli sata ia menangis.

"Nana." Panggil suara itu dengan sangat lirih.

Suara itu, suara yang Nana tunggu untuk datang. Suara sang ibu kandung yang tak pernah menemuinya seminggu ini.

"Maafin hiks m-mami, maaf." Tiya memeluk sang anak bersama tangisnya yang pecah.

"Maaf, m-mami bukan ibu yang baik hiks... Maaf karena nggak bisa lebih kuat untuk Nana hiks... M-maaf untuk semua kesalahan hiks mami."

Nana membalikkan tubuh untuk membalas pelukan sang ibu, menumpahkan semua beban yang ia pikul di pelukan hangat Tiya. Keduanya saling menguatkan, masing-masing mempunyai bebannya yang harus dipikul sendiri.

"Nana harus apa mi?" Tanya Nana dengan tercekat. "P-papi mau gugurin bayi Nana."

Tiya tak menjawab pertanyaan sang anak, memilih untuk menenangkan Nana hingga lebih baik. Ia merenggangkan pelukannya saat tangis Nana mulai mereda.

"Mi--"

"Kamu pergi dari sini ya, itu jalan satu satunya biar kamu dan bayi kamu aman."

"Mami--" Panggil Nana dengan lirih.

"Kamu nggak bisa disini terus, berita tentang kamu anak dari keluarga Suh udah sampai media. Jalan satu satunya biar semua nggak kebongkar... Kamu pergi dari keluarga ini."

Nana terkekeh tak percaya, disaat seperti ini mereka masih mementingkan diri sendiri. "Pada akhirnya, emang selalu Nana yang harus ngalah kan mi? Yang harus berkorban itu Nana, bukan kalian."

"Ini untuk kebaikan kamu juga! Jangan merasa kalau kamu yang paling tersakiti di sini! Mami juga harus berkorban buat kamu!" Teriak Tiya dengan tangis tertahannya.

Nana kira, Tiya datang untuk menguatkannya dan akan berada disampingnya ikut membantu menopang dirinya. Tapi ternyata tidak.

"Besok subuh, kamu bisa pergi. Mami udah nyiapin semua keperluan kamu, kamu nggak perlu mikirin biaya hidup. Ini... Tiket ke Chicago yang udah papi kamu pesan."

Nana tersenyum miris, menerima tiket pesawat dari sang ibu. Tiya juga memberinya sebuah black card serta uang tunai yang terbilang banyak.

"Ternyata kalian udah rencanain semua ini dengan matang ya." Nana mengusap air matanya dengan kasar, lalu mendongak tanpa ekspresi untuk menatap Tiya.

"Maaf, mami nggak bisa mempertahankan kamu, mami masih butuh papi dan keluarga Suh karena mami gak punya siapapun di dunia ini."

'Nana juga nggak punya siapa-siapa mi.'

Nana tersenyum miris, tangannya bergerak perlahan untuk mengelus perutnya yang terdapat janin. "Mami boleh keluar sekarang kalau udah nggak ada keperluan lagi." Ucap Nana tanpa tersirat makna, tonasinya begitu datar seakan tak mempunyai tumpuan lagi.

Luce Luminosa ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang