─ ✰್
Nana berjalan dengan kesal, mengikuti langkah lebar milik Jeno. Ia masih kesal dengan perlakuan Jeno terhadapnya. Ingin rasanya ia memaki lagi, tapi Jeno selalu mengancam akan menurunkannya di jalan.
"Jevan! Jalan lo bisa dipelanin gak?!" Decak Nana dengan kesal. Tubuhnya mundur beberapa langkah saat Jeno berhenti mendadak. "Lo kalau berhenti bilang--"
"Lo bawel banget, sumpah. Kalau gak mau ikut gue, bisa pulang." Ucap Jeno dengan datar.
Nana mengerucutkan bibir kesal, menatap punggung lebar milik Jeno yang kini sudah duduk di meja ujung yang tertata rapih.
"Sabar, sabar. Huft."
Nana menghampiri Jeno, mendudukkan diri di samping pria itu. Pria itu sibuk dengan ponselnya, mengabaikan Nana. Cih.
Cukup bagus, cafe dengan nuansa colorful terasa lewat furnitur dan tembok warna-warni menghiasi seisi cafe. Sofa panjang hanya ada di bagian ujung, tempat yang sekarang Nana dan Jeno duduki.
"Mana teman-teman lo? Katanya tadi mau nongkrong, kok sepi."
Tidak ada jawaban dari Jeno, pria itu masih asik dengan dunianya. Nana mengembungkan pipi kesal, memilih mengedarkan pandangan kepenjuru cafe.
Memilih bangkit untuk memesan beberapa menu, mengabaikan Jeno yang menatapnya bertanya.
Dengan senyum mengembang, Nana kembali duduk di samping Jeno, menaruh nampat berisi beberapa mochi dan waffle dengan topping coklat nutella, serta segelas ice squash.
"Nanti abis ini, lo anterin gue pulang kan?" Tanya Nana dengan mulut penuh saat lama keheningan melanda mereka.
Jeno mengalihkan pandangan dari ponselnya, tangannya terjulur guna mengelap sisa remahan waflle di ujung bibir Nana. "Pengennya nggak." Satu kecupan diberika pada pipi kanan Nana.
Nana membulatkan mata marah. "Jevan! Lo--"
Jeno memotong ucapan Nana dengan menyuapkan potongan kecil waffle.
"Lo berisik, bawel." Jeno mengecup hidung mungil Nana tanpa persetujuan gadis itu. "Tapi lo lucu."
"Anj--"
Suara lonceng tanda pintu terbuka, bersama beberapa orang masuk dan duduk dengan tiba-tiba di tempat yang Jeno dan Nana tempati.
"Tumben lo Jen dateng duluan."
"Wih, saha ieu Jen?"
"Lah, ini cewe bukannya yang nampar lo Jen?"
"Nama lo siapa?"
"Geulis pisan."
"Berani banget lo deketin Jeno lagi, abis nampar nih cowo."
"Lo kelas 12A bukan sih?"
"Oh! Lo yang anak baru itu ya?"
"Yang pindahan dari Jakarta bukan sih?"
"Yang sering bareng dua cewe macho itu?"
Nana menipiskan bibir, menatap teman-teman Jeno yang menatapnya dengan berbagai pandangan, yang kebanyakan menatapnya seakan ingin membunuh. Ia menatap Jeno dari ekor matanya yang kini juga sedang menatapnya.
Nana berdeham menghilangkan gugup. "Gue kayaknya harus pulang sekarang." Nana menyambar jaketnya dan berdiri dengan cepat.
Namun tanpa bisa dicegah, Jeno menarik kuat lengan Nana hingga gadis itu jatuh terduduk di pangkuannya.
Siulan menggoda dan decakan menggoda membuat Nana menahan malu serta marah.
"Mau kemana? Sini dulu, emang lo tau jalan pulang?" Tanya Jeno mengejek dengan tangan kiri mencengkeran pinggang Nana dan tangan kanan yang mengusap lembut kaki jenjang milik Nana yang terekspos.
"Lo! Bajingan!" Geram Nana dengan rendah. Ia bangkit mendorong Jeno dengan kuat, tangannya terangkat tinggi siap untuk menampar Jeno.
"Ini tempat umum, jangan cari ribut disini." Seorang wanita yang baru saja datang menahan tangan Nana. "Duduk lo." Menekan kedua pundak Nana untuk duduk di tempatnya kembali.
"Kalem weh, kita kan niatnya mau kumpul, bukan mau gelut atuh." Lerai seorang pria.
"Jadi lo temennya Ryu sama Felly kan? Bener?" Tanya wanita manis dengan rambut legam dikuncir.
Nana hanya menatap, tak berniat menjawab karena pasti orang itu tau jawabannya.
"Pantes sih, sebelas dua belas kelakuannya." Ucap mengejek wanita itu.
"Maksud lo?!"
"Barbar dan penampilannya sama. Celana kurang bahan, kayak gak pake celana." Ejek wanita itu dengan main-main, yang dibalas tawa oleh teman temannya.
Nana menutup pahanya dengan jaket yang ia bawa, tangannya terkepal erat.
"Aduh kunaon jadi gini, tong ribut lagi. Caca udah atuh."
Nana tersenyum miring. "Jadi lo semua satu geng nih? Iyakan?" Mengangkat alis mengejek.
"Pantes, kumpulan geng cupu yang beraninya keroyokan." Nana menekan kata cupu dengan senyum merendahkan.
"Berani ya lo!" Kini giliran wanita mungil berdiri marah pada Nana.
"Loh kenapa? Kok marah? Berarti gue bener dong?"
"Ck, benar ya anak Jakarta emang kelakuannya sama aja. Gak punya sopan santun."
"Mungkin gak pernah diajarin sama orangtuanya."
"Say that to yourself, bitch." Ucap Nana dengan datar, namun ada nada bergetar diucapannya. "Next time, before your speak... Perhatiin ucapan lo, can make other people hurt or not."
Nana bangkit dengan kasar, membuat deritan bangku terdengan begitu nyaring. Tangannya kembali ditahan Jeno, namun Nana langsung memukul kepala pria itu menggunakan slingbag miliknya, membuat tatapan beberapa pengunjung teralihkan.
Jeno bisa melihat mata bulat jernih itu yang memerah dengan air mata menggenang dipelupuk. Cengkeramannya perlahan mengendur, bersama Nana yang menghilang di balik pintu cafe.
"Bacot tau gak lo berdua!" Ucap Jeno dengan nada rendah marah pada kedua gadis yang sedari tadi beradu mulut dengan Nana.
"Sial."
💮💮💮
Jeno memberhentikan motornya di perkarangan rumah tepat pada jam lima sore. Badannya ia jatuhkan di sofa ruang tamu dengan hembusan napas kasar."Baru pulang? Tumben pulang sore."
Suara halus dan lembut mengalun, membuat Jeno membuka mata dengan senyum mengembang. Ia memeluk wanita yang kini sudah duduk di sampingnya.
"Gapapa, aa' bosen aja nongkrongnya disitu terus." Ucap Jeno teredam dalam pelukan.
Kekehan halus bersama usapan lembut pada rambut lebat Jeno, membuat pria itu memejamkan mata nyaman.
"Nggak biasanya. Pasti ada masalah ya?"
"Hm."
"Mau cerita sama mamah?"
"Aa' gapapa mah... Ngomong-ngomong aa' laper nih mah." Ucap Jeno melepas pelukan pada sang ibu, kemudian memasang wajah memelas.
Kekehan terdengar dari wanita itu. "Yaudah, kamu mandi dulu baru makan. Sekalian panggil adek sama papah."
Jeno memberi gestur hormat, kemudian naik kelantai atas dimana kamar adiknya dan dirinya terletak.
"Aa'! Mamah, aa' gangguin Alan nih!"
Suara teriakan nyaring dari lantai atas dan pekikan kesal menggema di penjuru rumah. Namun setelahnya terdengar suara gelak tawa.
"Aa'! Adeknya jangan diledekkin terus, nanti gak bisa tidur lagi!"
"Iya mah!"
"Aduh, anak-anak papah berisik banget ya! Pusing kepala papah."
─ ✰್
KAMU SEDANG MEMBACA
Luce Luminosa ✔
Fanfiction●Nomin Rasa cemburu selalu hadir bersama rasa cinta. Tapi, ia belum tentu pergi dengan rasa cinta itu. Karena, cinta tidak melulu tentang perasaan yang berbalas atau sebuah kebersamaan. ● ⚠Genderswitch (Gs)⚠ - Lil bit Mature🔞 - Bahasa campur aduk ...