venti ②⓪

3.8K 505 84
                                    

─ ✰್

Matahari bersinar terang, langit pun kini ikut berwarna cerah menyambut pagi. Horden yang semula tertutup, kini dibuka perlahan menimbulkan cahaya matahari menembus melalui kaca jendela.

Calon ibu muda yang tengah mengandung lima bulan itu tersenyum tipis, dengan tangan yang teratur mengelus perut buncitnya. Matanya menatap kosong televisi dihadapannya, namun telinganya dengan seksama mendengarkan berita.

"Seharusnya dari dulu bunda pergi, kalau mereka bisa sebahagia itu." Ucap Nana menatap perutnya dengan senyum tipis penuh kesedihan.

'Keluarga Suh membantah tentang mereka yang telah mempunyai anak perempuan. Semua sudah terbukti dari beberapa bukti yang diperlihatkan Johnny Suh--'

Pip

Nana mematikan televisi, tak ingin mendengar lebih berita yang menyayat hatinya. Ia menghela napas sejenak sebelum keluar dari kamar minimalis yang ia tempati.

"Nana."

Yang dipanggil tersenyum lembut, menghampiri wanita yang kini sudah menunggunya di meja makan.

"Sarapan dulu Na."

Nana mengangguk, mengambil duduk di hadapan wanita yang kini tengah menyendokkan lauk untuknya. Setelahnya, kedua wanita itu makan dengan tenang hingga habis, walaupun lauk yang mereka makan sangat sederhana.

"Maaf ya, kita sarapannya pake telor sama kecap lagi."

Nana menggeleng ribut. "Jangan minta maaf, harusnya gue yang minta maaf." Ia menggenggam tangan wanita yang telah banyak menolongnya dengan tatapan memias. "Maaf ya, gue jadi bebanin lo. Padahal, lo sendiri juga harus biayain hidup lo. Gue janji, setelah anak gue lahir, gue bayar semua utang gue secepatnya."

"Na, gue nolongin lo karena gue mau. Bukan beban buat gue, justru gue mau ngebayar salah gue. Kalau aja gue gak cegah lo di malam itu, semua gak akan kayak gini. Sorry ya, dulu gue penakut, gue takut kalau gue gagalin rencana mereka, Caca cabut jadi donatur di panti asuhan tempat gue tinggal."

Nana membawa tangan kurus itu pada pipi tembamnya. "May, tolong jangan minta maaf lagi. Gue udah sangat bersyukur lo mau nolongin gue. Semua udah kejadian, ngga ada yang bisa disalahin." Air mata turun bebas membasahi pipi Nana.

"Iya, nggak ada yang bisa disalahin." Mayang mengusap air mata Nana.

"Jangan tinggalin gue ya May, gue cuma punya lo." Isakan Nana terdengar tertahan.

"Nggak akan Na." Mayang terkekeh pelan melihat raut wajah Nana yang tengah menangis, sangat lucu. "Udah ah jangan nangis, kasian babynya."

Nana mengangguk, mengusap air matanya dengan kekehan. "Yuk kita berangkat kerja."

Nana dan Mayang, dua wanita yang kini hidup untuk mencukupi diri sendiri. Dua wanita yang kini saling menopang satu sama lain, saling menolong dan membantu di tengah kerasnya hidup.

Hidup berkecukupan di kontrakan kecil murah. Bekerja dengan gaji yang tak seberapa, namun mereka tetap menjalankan semua dengan ikhlas. Karena, mereka hanya memiliki satu sama lain.

"Bulan depan lo udah harus ambil cuti Na." Ucap Mayang saat mereka berjalan keluar dari gang kecil menuju jalan besar.

"Heum? Kayaknya nanti aja kalau udah delapan bulan lebih."

"Heh! Nanti lo kecapean."

"Ihh nggak Mayang, gue cuma duduk jagain kasir. Lagian toko kuenya nggak begitu rame, jadi nggak cape-cape banget." Sangkal Nana dengan bibir mengerucut.

"Yaudah terserah deh, tapi kalau udah ngerasa kontraksi palsu lo harus ambil cuti."

"Siap."


💮💮💮


"Sampai sini kelas kita berakhir."

Jeno menghela napas saat dosen dan mahasiswa lain bubar meninggalkan kelas. Ia baru keluar kelas saat ruangan sudah mulai sepi. Berjalan dengan wajah datar di sepanjang koridor kampus.

"Jeno."

Jeno berdecak saat lengannya dipeluk dengan manja. Ia melepas tangan kecil itu dengan kasar.

"Kamu kenapa sih?!"

"Lo masih tanya kenapa?! Dimana otak lo Ca?!"

Caca yang mendengar ucapan Jeno terlihat tak senang. "Media sama keluarga Nana udah klarifikasi, jadi Nana juga akan aman aman aja." Ucapnya dengan jengkel.

Jeno berhenti berjalan, menatap Caca dengan tatapan menusuk. "Semua emang udah stabil, tapi lo! Bisa ngembaliin Nana sekarang?! Nggak kan?"

"Kenapa aku harus?! Bukan aku yang bikin Nana pergi, tapi kamu!" Caca berdecih dengan senyum miring. "Kamu yang ngerencanain semua dari awal, aku cuma bantu biar semua jadi mudah. Sekarang kamu nyalahin aku? Sakit jiwa."

Jeno mengerang tertahan saat Caca menunjuk nunjuknya. "Anjing."

Napas kasar ia hembuskan. Sebelum ia maju untuk mecengkeram Caca, tubuhnya di dorong dengan kasar.

"Jangan kasar sama cewe."

Jeno tersenyum miring saat Mark lagi lagi mengganggung mereka bertengkar. Ia baru saja akan pergi, namun bahunya ditahan oleh Mark.

"Selesain urusan kalian sekarang."

"Ck, lo siapa?!"

"Gue sahabat lo!"

Jeno menepis tangan Mark dengan kasar. Lagi, saat ia akan melangkah, Mark menahannya. "Apa sih bangsat!"

Jeno berbalik, menatap kedua temannya dengan amarah. "Bilangin sama temen lo itu. Jangan ganggu gue lagi. Temen lo ini gak punya malu, udah nyebarin berita tanpa persetujuan, terus ngerusak pertemanan kita. Dan sekarang, dengan gak tau dirinya masih bisa bertindak seakan gak terjadi apa-apa." Ucap Jeno pada Mark.

Kini Jeno menatap Caca tanpa ekspresi. "Cari tuh Mayang yang udah lo sakitin. Dan jangan ganggu gue buat cari Nana." Ia berbalik, meninggalkan keduanya tanpa pamit. Sudah muak dengan keadaan yang seakan mengejeknya.

Caca menghentakkan kaki dengan kesal. "Mark, Jeno udah keterlaluan!"

"Kalian berdua sama keterlaluannya." Mark menghela napas lelah. "Tapi Jeno mau berusaha memperbaiki kesalahannya, walaupun terlambat. Tapi lo... Malah bikin semuanya tambah runyam. Kalau lo terus kayak gini, lo bener-bener akan kehilangan Rere setelah kehilangan Mayang."

Mark menatap kedua mata Caca dengan lekat, memegang bahu Caca yang terlihat rapuh. "Berhenti kalau emang itu buat lo nyakitin orang lain dan diri lo sendiri, Ca. Jangan jadi bodoh cuma karena lo mau terus sama Jeno."

Mark kembali menegakkan badannya. "Lo tau harus pulang kemana kalau lo tersesat."

Tangannya terjulur untuk mengusak rambut Caca. "Lo bisa dateng ke gue kalau lo mau memperbaiki hubungan sama Mayang dan... Nana."

Caca tercekat dengan ucapan terakhir Mark. Ia menatap lurus punggung Mark yang kian menjauh. Perlahan, semua teman meninggalkan dirinya hanya karena satu kesalahan.

─ ✰್




Gatau kenapa, suka aja kalau nana dipanggil bunda/buna 😍

Luce Luminosa ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang