sette ⑦

3.4K 508 40
                                    

─ ✰್

Jeno melonggarkan dasi sekolahnya dengan kasar, di tangan kirinya sudah terdapat buket bunga dan satu plastik yang terisi berbagai macam cemilan. Langkahnya memasuki kelas bertulis dua belas A.

"Hai." Sapa Jeno dengan lembut.

Yang dipanggil mendongak bingung, menghentikan aktivitasnya membereskan alat tulisnya.

Jeno menarik bangku asal dan menempatkannya di samping gadis yang kembali membereskan alat tulisnya.

"Na, kita duluan ya."

"Bareng aja ke depannya."

Jeno menahan lengan Nana saat gadis itu akan beranjak. "Kalian duluan aja." Suruh Jeno pada dua teman Nana.

"Oke, duluan ya Na. Lo pulangnya hati-hati."

"Eum." Nana mengangguk pelan kemudian melepas cekalan tangan Jeno. "Mau apa?"

"Duduk sini." Jeno kembali menarik lembut tangan Nana untuk kembali duduk di bangku.

"Buat lo." Jeno memberi buket bunga. "Gue minta maaf soal kejadian malam itu."

Nana menerima bunganya dengan tenang, kembali menatap Jeno yang mengusap tangannya.

"Oh, ini juga ada makanan buat lo. Gue benar-benar minta maaf ya Na."

Nana mengangguk sebagai jawaban, namun kembali tersentak saat tangan dingin milik Jeno mengusap pipinya.

"Apasih." Nana menepis kasar tangan Jeno.

"Bibir lo kenapa? Ini juga pipi lo?" Tanya Jeno dengan raut khawatir, tangannya menahan lengan Nana saat gadis itu ingin menepis kembali.

"Gapapa." Jawab Nana dengan malas.

Di sudut bibir Nana terdapat memar yang masih memerah terlihat sangat jelas, sedangkan di pipi kiri gadis itu terdapat goresan kecil yang sudah membekas.

"Tapi ini keliatan sak--"

"Lo mau apa lagi sih Jev?! Gak usah sok peduli sama gue!" Nana menepis kasar lengan Jeno.

"Gue gak sok perduli! Gue khawatir beneran sama lo!" Jeno menatap jengkel Nana yang berjengit kaget.

"Gue ngerasa bersalah karena kejadian itu Na, gue yang udah maksa lo buat ikut jadi... Gua ngerasa harus bertanggung jawab." Jeno melembutkan tatapannya, tangannya menggenggam kedua tangan Nana.

Nana memalingkan wajah, enggan menatap Jeno. Air matanya sudah menggenang siap untuk turun. Entah mengapa ia merasa lemah jika ada seseorang yang perduli kepadanya, ia jadi ingin menumpahkan semua keluh kesahnya.

"Gue minta maaf ya Na? Maafin gue dari awal pertemuan kita, gue udah lancang. Dan maaf untuk yang kemarin dan kemarinnya lagi. Maafin teman-teman gue juga."

Jeno meraih dagu Nana agar menatapnyanya kembali, mengelusnya dengan lembut.

"G-gue..." Nana berucap dengan tercekat.

Tak tega dengan wajah memerah Nana, Jeno membawa gadis itu ke dalam pelukannya.

"Dari kapan nenek lo main tangan sama lo?" Jeno mengusap rambut hingga punggung Nana saat terdengar isakan kecil dari gadis itu. "Na?"

Nana menggeleng, mencoba untuk meredakan isakannya yang terus saja ingin keluar. Ia tidak suka seperti ini, ia tidak suka saat seseorang memberinya pelukan dan menanyakan tentang dirinya. Merasa akan lemah jika seperti ini, tangisnya jadi tidak bisa dibendung.

Mendengar pertanyaan Jeno, kembali mengingatkannya pada hari harinya saat tidak bersekolah. Perlakuan kasar neneknya serta ucapan yang terus menyakiti dirinya. Luka gores di pipinya dan memar di bibirnya sudah terbiasa ia dapatkan.

Nana tidak sekuat itu untuk menahan rasa sakit di dadanya, menahannya terlalu lama membuatnya semakin lemah. Topeng yang selama ini ia pasang, topeng dengan wajah angkuhnya terasa sudah sangat lelah.

"I-itu hiks gue gapapa, didikan nenek emang kayak gitu biar gue jadi anak--"

"Mana ada nenek yang didik cucunya dengan cara kasar! Itu bukan ngedidik Na." Ucap Jeno dengan jengkel.

Jeno melembutkan tatapannya, menangkup wajah Nana dengan lembut. "Kasih tau gue kalau nenek lo udah keterlaluan. Gue janji akan lindungin lo."

Jeno mengusap air mata Nana di pipi mulus itu, membawanya ke dalam pelukannya lagi. Ucapan kata penenang ia lantunkan agar gadis itu tenang.

Nana menghapus kasar air matanya, kemudian melepas pelukan Jeno dengan paksa. "G-gue harus pulang. Makasih."

"Gue anter."

Nana menggeleng ribut. "Nggak."

Jeno tak mengindahkan jawaban Nana, ia berjalan merengkuh Nana di koridor sekolah yang mulai sepi.

"Jev, apasih! Gak usah gini."

"Jevan!"

"Diem Na, itu mobil jemputan lo udah dateng." Jeno tersenyum lembut, menggiring Nana untuk lebih mendekat pada mobil van hitam.

"Jev." Nana kembali tercekat saat dua orang suruhan neneknya berdiri gagah di samping mobil dan menatap ke arahnya dengan tajam.

Dengan terburu ia melepas lengan Jeno saat dua orang itu menghampiri mereka dengan cepat.

"Apa-apaan lo! Gak usah kasar gini dong bangsat!" Jeno menahan Nana saat gadis itu ditarik kasar.

"Non harus cepat sampai rumah lima belas menit lagi, sebelun nyonya besar pulang."

Ucapan tegas itu membuat Nana melangkah mendekat pada dua pria itu. "Gue duluan ya Jev, makasih bunga sama makanannya."


💮💮💮


Motor besar yang dikendarai oleh Jeno membelah jalanan dengan kencang. Dibalik helm full facenya tercetak jelas senyum kemenangan pria itu. Hingga motornya terhenti di sebuah rumah minimalis, ia turun merapihkan rambutnya yang berantakan.

Suara pekikan dan obrolan terdengar saat Jeno memasuki rumah bercat putih gading, duduk bersandar di samping Mark setelah menyalakan pematik rokok.

"Kenapa lo?" Tanya Mark dengan penasaran saat senyum terus mengembang di wajah Jeno.

Jeno menghembuskan asap rokok dengan kekehan sinis. "Nope."

"Jeno!" Panggilan diiringi rengekan itu sukses membuat senyum Jeno terangkat semakin lebar.

"Hm?" Jeno membalas pelukan itu disertai kecupan di pipi gembil Caca.

"Jadi kamu udah berenti kan? Anak itu gak masuk tiga hari." Tanya Caca dengan nada manjanya.

Jeno mengangkat alis sebagai tanggapan. "Nggak, belum selesai Ca. Dia belum ngerasain apa yang Mama aku rasa."

Caca melepas pelukannya dengan wajah tanya ingin tau. "Sebenarnya apa yang keluarga dia lakuin ke tante Doyna sih Jen? Terus kemarin pas kamu anter Nana, ada kejadian apa?" Tanyanya dengan beruntun.

Jeno membawa Caca kedalam pelukannya lagi, kemudian menghembuskan asap rokoknya dengan tenang.

"Jen." Rengek Caca.

"Gak ada Ca." Ucap Jeno dengan malas, tak berniat memberi tau Caca apa yang terjadi, membuat gadis itu merengut kesal.

Mark berdecih melihat kedua temannya dan sedari tadi mereka bicarakan ia mendengarnya dengan jelas. Ia mengambil rokok untuk yang kedua kalinya, lalu menatap Jeno.

"Berhenti Jen."

Jeno menatap Mark dengan menukik alis tak suka.

"Gue bilang berhenti, sebelum lo nyesel sendiri." Mark berucap kembali dengan pelan, sehingga hanya Jeno yang mendengar.

─ ✰್


Hai helo annyeong :**

Luce Luminosa ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang