tredici ①③

3K 433 28
                                    

─ ✰್

Hari ini Nana memilih pulang ke kediaman neneknya, setelah beberapa hari merepotkan keluarga Jeno dan bolos sekolah. Mungkin juga ia pulang hanya untuk mengambil seragam dan akan tinggal di apartemen milik Felly lebih dulu. Itu juga baru rencana Nana.

Motor Jeno berhenti tak jauh dari rumah besar neneknya Nana, tidak ingin mencari keributan di malam hari.

"Yakin mau pulang?"

"Iya Jevan." Jawab Nana. Sebenarnya ia belum memberitahu pada siapapun tentang dirinya yang akan berniat tinggal di apartemen Felly.

"Pulang ke rumah gue aja yuk, gue gak yakin lo baik-baik aja disana." Tunjuk Jeno pada rumah besar yang terlihat sepi.

Nana menggeleng. "Gue udah banyak ngerepotin lo sama tante Doyna. Lagian, kayaknya papi sama mami udah pulang ke Jakarta."

"Yakin?" Tanya Jeno dengan tak yakin, tangannya terus terulur untuk mengusap rambut legam Nana.

"Iya Jevan~ Udah sana lo pulang, nanti dicariin kalau kelamaan." Nana melepas tangan Jeno dari kepalanya, menggantikan dengan genggaman.

Jeno menghela napas pasrah. "Tapi janji kalau ada apa-apa langsung telfon gue ya."

"Eung." Nana mengangguk dengan senyum manisnya.

Jeno kembali merengkuh Nana, mengikis jarak diantara mereka untuk mencium bibir ranum manis milik Nana.

"Nggak Jevan, nanti ada yang liat." Tolak Nana dengan lembut.

Entah sejak kapan, mencium bibir satu sama lain bukan lagi hal mengejutkan untuk mereka. Pada awalnya Nana sering kali protes saat Jeno selalu mencuri ciuman di bibirnya, perlahan ia menikmati perlakuan Jeno. Anggap saja Nana memang munafik.

"Gue pulang ya." Pamit Jeno setelah mengganti ciumannya pada kening Nana.

Nana menurunkan lambaian tangannya saat motor Jeno tak lagi terlihat. Menghirup napas dalam sejenak, sebelum benar benar masuk ke dalam rumah sang nenek.

Terangnya lampu dan keheningan menyambut Nana saat ia masuk. Mengabaikannya, Nana dengan cepat naik ke lantai atas dimana kamarnya terletak. Tak ingin membuang waktu.

"Bagus. Berani kamu masih nginjak kaki di rumah ini?"

Nana memekik tertahan saat akan membuka pintu kamarnya. Menengok ke samping dimana badan tegap kekar berdiri dengan bersedekap.

"Papi ngirim kamu ke rumah nenek biar kelakuan kamu lebih baik lagi. Tapi ini? makin buruk."

Nana terkekeh sini, menegakkan dirinya dan membalas tatapan tajam sang ayah. "Papi tau pasti bukan itu alasan papi kirim aku ke rumah nenek tua ini. Karena papi... Takut ketauan media kalau sebenarnya kalian punya anak haram."

"Nana! Jaga ucapan kamu!" Tangannya Johnny sudah tergantung, siap untuk menampar sang putri jika saja tidak ditahan oleh sang istri.

"Johnny!"

"Kenapa?! Bela aja terus anak kamu! Bukannya diajarin sopan santun!"

"Nana anak kamu juga! Jangan salahin Nana atas kesalahan yang udah kamu perbuat! Nana nggak salah apapun."

Nana memalingkan wajah, enggan menatap sang ibu yang sudah menangis. Ia mencoba untuk menghalau air matanya agar tak turun.

"Ck, anak sama ibu samanya." Johnny mengalihkan tatapan dari sang istri ke anaknya. "Masuk kamar kamu sekarang!Jangan coba coba untuk kabur lagi."

Nana dengan cepat masuk ke kamar, menuangkan tangisnya yang sudah ia tahan sedari tadi. Di luar kamar terdengar samar kedua orangtuanya saling melempar kata-kata kasar.

Luce Luminosa ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang