ventitré ②③

3.6K 480 43
                                    

─ ✰್

Pikiran Jeno berkecamuk, ia sudah tak bisa berkata apapun sekarang. Semua yang ia lakukan, baru ia sesali sekarang. Seharusnya ia tidak bodoh melakukan hal yang bisa menyakiti Nana dan calon anak mereka. Seharusnya ia bisa menahan ego dan emosinya.

Sekarang hanya tersisa penyesalan. Mau menyesal sekarang pun tidak ada gunanya. Sang anak terlahir dengan tidak normal seperti bayi kebanyakan, tubuhnya yang sangat kecil dan kulit yang sangat tipis serta kemerahan. Membuat siapa pun nggan menyentuhnya karena takut tubuh ringkih itu hancur.

Air mata lagi-lagi meluncur deras dari kedua mata sayu Jeno, saat dokter telah menangani sang anak. Bayi mungil yang harus berada di dalam inkubator dengan alat-alat medis di tubuh kecilnya.

"Hei, maaf... Say-ya minta maaf." Kata maaf keluar dengan kelu dari mulut Jeno.

"Say-- Ayah minta maaf nak." Lirih terdengar menyakitkan.

Saat melantunkan azan dan iqama untuk sang anak, dalam hati Jeno berharap kelak sang anak bisa menjadi pria yang membanggakan dan baik hatinya. Tak ingin anaknya seperti dirinya yang brengsek.

Jika Tuhan masih sudi mengabulkan doanya, Jeno hanya minta Nana dan anaknya selamat dalam masa kritis. Ia tidak ingin kehilangan keduanya. Ia tidak ingin ditinggalkan.

"Jeno."

Mata Jeno terbuka perlahan, sang ibu menatapnya dengan datar. Dari geriknya, Doyna menyuruh Jeno untuk cepat keluar.

Langkah pelan Jeno ambil, melepas baju sterilnya setelah keluar dari ruangan sang anak. Lagi, jantungnya kian berdetak cepat saat mengikuti langkah sang ibu menuju ruang rawat Nana.

"Lihat, Nana kritis. Dokter bilang Nana kehilangan banyak darah, tadi dia sempat kejang."

Soal Nana. Jeno tidak mendengar semua perkataan dokter tentang keadaan Nana, ia terlalu khawatir saat melihat sang anak yang terlihat begitu rapuh.

"Maaf... Jeno minta maaf."

Doyna membuang napas pendek, pandangannya tetap tertuju pada Nana lewat kaca pintu ruang inap. Keduanya tak diperbolehkan masuk oleh Mayang, mereka juga tau diri untuk tidak memaksakan.

"Hei."

Suara berat itu menyadarkan keduanya, Jeffrey datang bersama Alan. Pria itu langsung memeluk sang istri yang kembali menumpahkan tangis pilunya. Namun, matanya menatap tajam pada sang anak, ingin saat ini ia memberi pelajaran pada sang anak.

"Nana-- dia kritis hiks... Cucu kita..."

"Sstt iya, jangan dilanjut."

"Maaf pah." Ucap Jeno dengan lirih, kepalanya tertunduk nggan menatap sang ayah.

"Saya tidak butuh maaf kamu." Jawabb Jeffrey dengan suara datar dan tegasnya.

Jeffrey mencoba mengontrol emosinya, ia kembali mengusap lembut punggung sang istri agar lebih baik. Namun sepertinya percuma saja.

"Papa udah telfon pihak keluarga Nana. Tapi, tidak ada respon berarti. Mereka benar udah nggak peduli sama Nana..."

"Jeno, papah nggak berharap lebih ke kamu. Kamu udah ngehancurin masa depan Nana dan papa cuma minta kamu jangan mengulang kesalahan lagi..."

Jeffrey meremat pundak sang anak dengan tangan kanannya. "Nikahin Nana sekarang juga."


💮💮💮


Bunyi suara alat medis terdengar menggema di ruangan luas yang hanya ter-isi tiga orang wanita. Satu wanita yang kini tengah berjuang dengan hidupnya dan dua lagi menunggu dengan hati tak karuan.

"Na, ayo bangun hiks..."

Mayang, duduk dengan kedua tangan menggenggam tangan Nana yang bebas dari infus. Ia dengan setia menunggu sang teman baru setelah selesai di ruang operasi.

Hatinya hancur, ia juga menyalahkan dirinya karena telat untuk pulang ke kontrakan. Kalau saja ia tidak terlambat, Nana dan keponakannya tidak akan seperti ini.

"Na, bangun dong hiks ... hiks... Katanya, lo mau buah. G-gue udah beli banyak buah buat lo."

"Lo harus bangun Na... Hiks lo janji mau ajak anak lo ke panti gue, kita belum ke taman bermain sama anak lo."

"Na hiks... Lo belum kasih nama anak lo. Lo udah nyiapin banyak nama kan buat ponakan gue."

"Na, maafin gue."

Tangis itu tak bisa terhenti, teman baru yang mengajarkan banyak hal dan membuat dirinya lebih berarti untuk dicintai. Mayang tak minta banyak, hanya ingin Nana kembali sadar dan memarahinya.

Caca di ujung ruangan, mengalihkan pandangan untuk menghalau air matanya. Ia iri dan sedih, Nana yang sering kali ia sakiti dan ingin ia singkirkan kini lebih disayang oleh Mayang. Ia yang sudah lama berteman oleh Mayang tak pernah merasa disayangi sebegitunya.

Tapi ia kembali mengingat lagi, hal jahat apa saja yang banyak ia lakukan pada Mayang. Itu tidak akan pernah sebanding dengan kebaikan yang Nana lakukan pada Mayang.

"Ma-ay gue..." Caca menggantungkan ucapannya saat Mayang menatapnya dengan kedua mata sayunya. Ia ragu untuk mengatakan hal ini.

"Kenapa Ca?" Tanya Mayang dengan suara paraunya. "Mau pulang ya? Sorry gue--"

"Nggak! Bukan, maksud gue..." Caca membuang napas kesal, ia berdecak karena harus gugup disaat seperti ini.

"Nana bisa sembuh, gue bakal bantuin kalian tanpa lo harus pusing mikirin biaya. Gue yang jamin semuanya."

Caca mengigit bibir bawahnya, takut akan penolakan yang keluar dari mulut Mayang. Ia sadar, ia telah menyakiti hati keduanya dan kini ia ingin meminta maaf dengan meringankan beban Mayang serta membuat Nana cepat pulih.

"Lo--"

"Hai semua, maaf om ganggu waktunya." Jeffrey masuk seorang diri tanpa permisi.

"Ngapain ke sini? Keluarga om, termasuk om sendiri dilarang masuk ke sini!" Mayang bangkit, menatap nyalang pria paruh baya di hadapannya.

"Om tau, kesalahan keluarga om udah sangat fatal. Om cuma mau memperbaiki semuanya, biar--"

"Nggak ada yang perlu diperbaiki om. Anak om udah gak bisa dimaafin."

Jeffrey menghela napas, mendekat pada Mayang dan mencoba untuk meyakinkan.

"Ada... Ada yang perlu diperbaiki. Masih banyak hal yang harus diperbaiki, walaupun beberapa hal nggak bisa kembali seperti awal." Jeffrey menatap Mayang dan Caca berganti.

"Om mau menikahi Jeno dengan Nana."

Kekehan lirih itu terdengar. "Lucu ya om. Nana ngarepin itu dari dulu, kenapa baru sekarang pas Nana kritis?... Oh tau, biar kalau Nana mati, kalian nggak terlalu merasa bersalah kan?"

"Mayang!" Jeffrey berteriak marah, namun kembali menarik napas saat kedua remaja di hadapannya terlonjak kaget.

"Om percaya pasti Nana sadar. Itu pasti... Om cuma nggak mau, hidup Nana dan anaknya sengsara setelah ini. Om dan keluarga benar benar sangat menyesal atas tindakan yang dilakukan Jeno, om minta maaf..."

"Jadi om mohon, biarin Jeno nikahin Nana. Keluarga Nana bahkan nggak peduli lagi sama Nana, om gak mau Nana--"

"Om keluar dari ruangan ini!"

"Caca, kamu--"

Caca menggertakkan gigi kesal "Om tolong ngertiin kondisi Nana sekarang. Jangan egois buat ngambil keputusan disaat seperti ini. Tolong ya om, itu bisa diomongin nanti kalau suasana udah kembali stabil."

─ ✰್



Hai. Ada yg kangen Nana? ^^ apa kangen akoh? Aowkaowk


Luce Luminosa ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang