ventisette ②⑦

3.3K 440 30
                                    

─ ✰್

"Stop doing things like this again! Awalnya gue emang dukung lo, tapi semakin kesini lo semakin keterlaluan." Wanita dengan surai coklat dan dress malamnya tak bisa untuk tidak marah, melihat temannya yang sudah sangat keterlaluan.

"Stop lo bilang? Nggak bisa sebelum mereka benar-benar hancur." Balas wanita dengan surai hitam legam yang sedari tadi terus dipojoki.

"Mereka udah hancur! Lo liat sendiri berita tentang keluarga Suh nyebar ke seluruh media."

Wanita bersurai hitam itu terkekeh miris. "Udah hancur? Mereka belum hancur!"

Kini suasana ruang tamu menjadi sangat menegangkan. Wanita yang tengah berkumpul itu sama-sama tidak ada yang mau mengalah, saling mempertahankan argumen yang membuat mereka hampir bermain tangan.

"Udah stop! Kalian semua keras kepala, nggak akan nyelesain masalah." Wanita bersurai blonde yang sejak tadi hanya diam, kini angkat bicara.

"Kalian nggak ngerti! Hidup mereka belum hancur."

"Apa yang belum kita ngerti?! Kasih tau gue! Dimana letak kita nggak ngertiin lo?!" Wanita dengan surai coklat itu berteriak menunjuk sang teman yang menjadi objek masalah. "Lo udah keterlaluan! Jeno sama keluarganya udah hancur, hidup mereka udah hancur. Bahkan Alan jadi korban bahan bullyan teman-temannya! Lo bilang mereka belum hancur?! Tante Tiya juga udah sadar kesalahannya, hidup dia bahkan gak semudah dulu!"

"Masih punya otak lo bilang mereka belum hancur?! Dimana hati nurani lo, Nana?!"

"Lo bisa ngomong kayak gitu, KARENA LO MASIH SUKA SAMA JEVAN! Lo... Nggak akan pernah ngerti gimana traumanya gue, gimana sakit hatinya gue. Kalian--" Runtuh sudah pertahanan Nana, tangis pilunya pecah.

"Setahun gue coba bertahan dan coba lupain masa lalu. Tapi gak bisa, bayang-bayang buruk selalu ngehantui gue. Kalian pikir, gue bisa hidup tenang?!"

"Kalian pikir, gue sama anak gue nggak hancur?"

"Ya, gue tau. Tapi udahin semuanya, dengan lo bales dendam gini, nggak akan selesai masalahnya. Kita kan sepakat buat Jeno sadar atas kesalahannya aja, Na. Sekarang dia udah sadar, udah ya Na." Mayang, wanita bersurai blonde itu berucap dengan pelan, mencoba mengertikan Nana.

"Udah biarin aja, May. Dia mungkin mau bikin keluarga Jevan mati, baru puas." Caca menarik Mayang untuk meninggalkan Nana yang masih menangis.

Nana mendudukkan dirinya di sofa dengan tangis pelannya. Punggungnya ia sandarkan dengan mata terpejam.

'Bahkan sampai sekarang pun tetap gue yang disalahin.'

'Mau gimana pun, salah atau benar yang gue lakuin, gue tetap akan disalahin.'

'Semesta nggak pernah berpihak sebentar aja sama gue. Sejak gue dilahirkan ke dunia pun, semesta nggak pernah baik ke gue.'

"Nyanya."

Nana buru-buru menghapus air matanya saat suara imut dan langkah kecil terdengar menghampirinya.

"Hai jagoan." Nana mengambil sang anak dari bibi rumah Caca untuk ia pangku. "Tinggal aja mba, makasih ya."

"Nanis?"

Nana terekekeh, senyumnya mengembang seketika melupakan kejadian beberapa menit lalu. "Nggak, buna nggak nangis."

"Ni, nanis." Tangan mungil itu menyentuh pipi sang ibu yang masih terdapat jejak air mata.

"Nggak sayang." Nana menggenggam tangan mungil itu, mengecupnya berkali kali dengan penuh sayang. "Mata buna tadi kelilipan debu, sama seperti waktu Jian kelilipan, lalu mengeluarkan air mata karena sakit."

"Ugh, bu akal." (Debu nakal)

Jiandra Putra namanya. Anak yang Nana lahirkan dengan penuh perjuangan hingga ia rela mempertaruhkan nyawanya, anak yang tidak diinginkan oleh siapapun, anak yang ditolak keras oleh ayah kandungnya sendiri. Namun, bagi Nana, Jiandra adalah anugrah dari Tuhan untuknya.

Usia Jiandra sudah satu tahun lima bulan. Selama itu juga, Nana dan Jian berjuang bersama untuk hidup. Selama itu juga, Nana bisa membalaskan dendamnya pada semua yang telah menyakiti anaknya.

Jian lah alasan Nana masih mempertahankan hidupnya. Tidak ada lagi selain Jian yang dapat mengertikan dirinya. Anak itu sangat pintar, sampai Nana merasakan sakit pun, anak itu mengerti perasaannya.

"Pulang yuk. Sudah mau malam, pamit dengan aunty Caca dan aunty Mayang dulu ya."

"Ungg" Anak itu mengangguk semangat, berjalan pelan dengan tangan digandeng sang ibu, karena Jian pun belum lancar berjalan sendiri.


💮💮💮


Jeno menghela napas lelah, ia sudah duduk di halte bus sejak satu jam lalu, tapi ia tak berniat sedikit pun untuk menaiki bus yang berhenti.

Masalah kembali datang di hidupnya. Dua bulan lalu ia menerima tawaran Mark untuk bekerja di tempat temannya, gajinya dua kali lebih besar dari tempatnya bekerja dulu. Namun, sudah dua bulan lebih ia bekerja, dia sudah terkena masalah dengan tuduhan mengambil uang perusahaan.

Ia memang sedang kesusahan, tapi mana mungkin ia berani mencuri. Ia bahkan sudah menjelaskan secara baik-baik pada atasannya, tapi atasannya tidak berbicara apapun. Dan sialnya lagi, cctv pada ruangan itu mati lalu tuduhan jatuh padanya karena yang keluar terakhir dari ruangan itu adalah Jeno.

Keputusannya belum diambil, tapi hari ini karyawan dipulangkan lebih awal karena masalah yang ada. Jeno tidak ingin kehilangan pekerjaan ini, bahkan ia baru saja mengumpulkan uang. Mau mencari pekerjaan kemana lagi jika ia benar-benar dipecat.

"Ni..."

Kedua tangan mungil yang tengah memegang sebotol air mineral dingin disodorkan pada Jeno. Jeno tersenyum menatap anak balita yang sudah beberapa kali ia temui di halte ini.

"Untuk om?"

Anak itu mengangguk semangat, membuat helaian rambut halusnya ikut bergerak.

"Terimakasih."

"Cama-ama"

"Jagoan, jangan jauh jauh dari mama papa ya, bahaya."

"Eung." Anak itu kembali mengangguk dengan kedua tangan saling bertautan, membuat Jeno kembali terkekeh gemas.

"Sekarang dimana orangtua kamu?"

"Tu."

Jeno menatap tempat yang ditunjuk oleh anak di hadapannya, tangan kecil itu menunjuk dengan asal, membuat Jeno menyimpulkan bahwa orangtua anak ini berada di dalam minimarket.

Belum sempat Jeno berbicara lagi, anak itu sudah melangkah tatih menghampiri gang kecil yang terdapat di samping minimarket. Siluet anak itu terlihat jelas tengah menggandeng perempuan yang sudah menunggunya. Mungkin itu orangtuanya.

Jeno kembali abai setelah anak itu menghilang dari pandangannya. Ia menatap botol air mineral dengan senyum mengembang, terdapat note di botol dengan tulisan yang amat sangat berantakan, tapi masih bisa Jeno pahami.

'Nan cedih agi yah.'

─ ✰್



Welcome Jiandra Putra

Welcome Jiandra Putra

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Luce Luminosa ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang