─ ✰್
Tidak ada yang lebih menyakitkan dari perkataan kasar orangtua pada anaknya. Tidak ada yang lebih menyakitkan dari perbuatan kasar orangtua pada anaknya. Tidak ada yang lebih menyakitkan...
Itu yang selalu Nana lontarkan dalam hatinya. Menangisi semua yang dialaminya hanya dengan kurun waktu yang sangat cepat. Mengunci diri di dalam kamar yang luas dan gelap, menangis meraung namun tak ada yang peduli sekalipun.
Selalu bertanya disetiap malam yang sunyi, apa salahnya sampai semua membenci dirinya. Apa yang ia lakukan sampai harus dibenci. Namun, tak ada jawaban yang dapat memecahkan pertanyaan yang selalu menghantuinya dari dulu.
Jemari lentiknya dengan gemetar mengambil ponsel yang masih berada di dalam sling bag. Memencet kontak yang bisa dihubunginya. Namun, dua kontak yang ia hubungi tak juga mengangkat.
Siapa yang mau mengangkat telfon di jam dua pagi. Pikir Nana. Namun tak putus asa, jemarinya kembali memencet kontak terakhir yang bisa ia hubungi. Dirinya hanya ingin mengeluhkan semua rasa sakit ini. Hanya ingin ada yang mendengarkan keluhannya, sekalipun orang itu tidak memberi solusi. Ia hanya ingin didengar. Hanya ingin ada yang memberikan bahunya untuk ia sandarkan.
"Halo." Suara berat di seberang sana membuat tangis Nana semakin pecah.
"Na, hei."
"Jevan." Panggilnya dengan terputus. "Jev, kenapa ini sakit banget."
"Lo dimana?"
"Ru-mah?" Jawab Nana dengan tercekat.
"Bisa keluar rumah? Gue jemput."
Nana mengangguk. "I-iya."
"Tunggu ya, dua puluh menit gue sampe."
Sambungan terputus, membuat Nana memejamkan mata lelah. Pening menyerang namun tak membuatnya bertahan dari tidurannya. Bangkit untuk mengambil tas, mengisinya dengan dompet, ponsel serta laptop yang akan ia butuhkan. Bajunya yang semalam masih melekat, digantinya dengan baju hangat, walaupun tetap berbentuk dress, setidaknya sedikit dapat menghangatkan.
Langkah kakinya terayun pelan, memastikan tidak ada siapapun yang mendengar. Gelap menyambut Nana saat sampai bawah, dengan pelan membuka pintu utama untuknya cepat keluar.
Menunggu Jeno tak jauh dari rumah yang seperti neraka baginya. Dan benar saja, Jeno menepatkan janjinya, dua puluh menit ia datang dengan mobil hitam milik sang ayah.
"Hei."
Nana segera memeluk Jeno, meredamkan tangisnya di dada bidang pria itu. Baru empat jam yang lalu mereka bertemu dengan keadaan yang sangat baik-baik saja, namun kini harus kembali bertemu dengan keadaan yang berbeda.
"It's oke Na, kita ke rumah gue ya."
Masih dengan memeluk Nana, Jeno menuntun wanita itu untuk masuk ke jok penumpang, memasangkan seatbelt dan memastikan Nana duduk dengan nyaman.
Selama perjalanan, Jeno terus mengelus tangan serta rambut Nana bergantian. Sedangkan Nana hanya memandang ke luar jendela, menghalau air matanya agar tak banyak keluar.
Selama perjalanan pun, ia tidak sempat berpikir akan fakta bahwa Jeno tidak hanya tinggal sendiri di rumahnya. Di depan rumah sederhana itu, berdiri kedua orangtua Jeno, menunggu mereka keluar dari mobil.
"Tadi sebelum jemput lo, gue bilang sama nyokap dulu. Yuk keluar."
Doyna menyambut dengan raut wajah khawatir, dipeluknya Nana untuk menyambutnya.
"Masuk dulu yuk. Udaranya masih dingin." Jeff memerintahkan semua, menuntun sang istri dan anaknya untuk masuk terlebih dulu kemudian mengunci pintu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Luce Luminosa ✔
Fanfic●Nomin Rasa cemburu selalu hadir bersama rasa cinta. Tapi, ia belum tentu pergi dengan rasa cinta itu. Karena, cinta tidak melulu tentang perasaan yang berbalas atau sebuah kebersamaan. ● ⚠Genderswitch (Gs)⚠ - Lil bit Mature🔞 - Bahasa campur aduk ...