diciannove ①⑨

4.1K 519 105
                                    

─ ✰್

Helaan napas kasar serta erangan marah yang tertahan memenuhi kamar bernuansa gelap. Sudah satu jam kedua remaja itu hanya terdiam, belum ada yang berniat untuk membuka suara.

"Aku nggak pernah nyuruh kamu buat nyebarin berita itu ke media, Caca." Ucap jeno dengan lelah.

"Kenapa sih?! Bagus aku sebarin, biar kamu nggak perlu lama-lama sama Nana buat balas dendam doang." Decih Caca dengan tak suka.

"TAPI GUE NGGAK PERNAH NYURUH LO BUAT SEBARIN BERITA NANA! ANJING!" Jeno berteriak marah, botol minum yang sedari tadi ia pegang kini dilempar ke tembok, menghasilkan bunyi nyaring.

Caca terdiam saat Jeno berteriak marah, jantungnya berdetak dua kali lebih cepat. Ia tidak pernah melihat Jeno semarah ini.

"T-tapi..."

"Nana hamil. Dan lo nambah bebannya dia dengan nyebarin berita Nana anak keluarga Suh." Ucap Jeno dengan frustrasi, wajahnya ia tangkup dengan kedua tangan.

Caca menatap Jeno dengan tak percaya. "I-iya itu kan emang tujuan awal lo? Terus kenapa kalau Nana hamil? Keluarganya juga bakalan gugurin bayi itu."

"Aarrgh!!" Jeno menggeram, wajahnya ia usap kasar dengan sesekali menjambak rambut hitam lebatnya.

"Kamu kenapa sih Jen? Balas dendam kamu udah terbalas, kenapa masih mikirin Nana sih!"

"Gue nggak bisa, gue..." Jeno memejamkan mata, kepalanya pening saat mengingat kembali perkataan sang ibu.

.
Doyna menatap sang anak yang tengah menunduk dalam, saat berita tentang Nana menyebar ia segera menghampiri Jeno dengan raut kecewa. Senyumnya terukir tipis dengan tangan mengelus bahu anaknya.

'Kita semua pasti sama-sama punya masa lalu... Tapi, buatlah masa lalu itu menjadi sebuah pelajaran untuk masa depan, bukan untuk ajang balas dendam.'

'Papa pernah bilang ini ke mama... Selama kamu nggak pernah memaafkan masa lalu, kamu akan terus menyakiti siapa pun yang mencintai kamu.'
.

"Gue mau tanggung jawab."

"Jeno!" Caca berteriak marah, wajahnya memerah menahan emosi. "Dari awal, kamu cuma mau balas dendam habis itu campakin Nana. Kamu nggak bisa gini!"

"Gue nggak bisa... Gue nggak bisa! Gue harus tanggung jawab."

Air mata turun membasahi pipi Caca, isakannya terdengar saat Jeno terus mengatakan ingin bertanggung jawab. "Ini udah melenceng dari apa yang udah direncanain, Jen."

"Gue nggak peduli! Bangsat! Jangan pernah ikut campur urusan gue lagi!"

"Kamu yang masukin aku ke dalam masalah kamu, Jen."

Jeno menatap Caca dengan jengah. Setelahnya ia turun ke bawah saat terdengar suara ribut, ingin melihat apa yang terjadi.
Ia mengernyit saat ibu dari Nana terlihat menangis dan memarahi sang ibu.

"Aku nggak tau Tiya."

"Jangan bohong! Kalau emang kalian yang--"

"Maaf tante, ini ada apa? Tante ngapain masih berani ke sini?" Tanya Jeno dengan tak suka.

Dengan wajah marah, Tiya menghampiri Jeno. "Dimana kamu umpetin Nana?! Jangan main-main sama saya, anak itu harus segera ke Chicago." Tiya mencengkeram kuat baju Jeno.

"Nana?"

"Iya! Jangan pura pura bodoh. Dari semalam Nana tidak ada di kamarnya, pasti kalian kan yang culik?! Mau memanfaatkan situasi karena sekarang media lagi nyari keberadaan Nana."

"Nana hilang?" Tanya Doyna dengan terbata.

"Kasih tau aku sekarang! Dimana Nana?!" Tiya beralih pada Doyna, tangannya mencengkeran kuat bahu Doyna yang mulai bergetar karena tangis.

"A-aku nggak tau. Semalam Nana memang kesini, t-tapi dia langsung pergi. A-aku kira dia p-pulang." Jelas Doyna dengan tercekat.

Tiya merenggangkan cengkeramannya, ia berjongkok saat kedua kakinya tak kuat lagi menopang tubuh lelahnya. "Anak bodoh!"

Jeno yang termenung saat mendengar Nana hilang, kini tersadar mendengar umpatan Tiya.

"Harusnya tante yang lebih tau dimana anak tante! Rumah kalian besar kenapa tidak ada penjagaan yang ketat?! Di luar banyak media yang lagi cari Nana, bahaya buat dia berkeliaran di luar." Ucap Jeno dengan bergetar, hatinya gelisah dengan tangan yang gemetar.

Tiya menangis, menggeleng putus asa. Doyna bahkan sudah memeluk temannya itu untuk menenangkan. Keduanya menangis, sudah tidak bisa berfikir apa yang harus dilakukan.

"Kenapa kalian malah nangis?! Harusnya cari Nana sekarang!"

Dengan napas memburu, Jeno berlari ke kamarnya untuk mengambil ponsel dan kunci motor. Di tangga, ia berpapasan dengan Caca, namun diabaikannya. Ia harus bergegas mencari keberadaan Nana.


💮💮💮


'Pengusaha nomor satu Johnny Suh, serta sang istri Tiyara Qatrunnanda selama ini membohongi publik. Mereka mempunyai seorang anak perempuan yang belum diketahui identitasnya.

Saksi mata mengatakan jika keduanya sering berpergian bersama remaja perempuan yang selama ini adalah anaknya.

Diberitakan, Tiyara mengandung anak Johnny sebelum mereka menikah. Itu penyebab mereka me--'

Pip

"Jangan dengerin apa yang media bicarain. Semua yang diberitain kadang suka dilebih lebihin."

Nana menatap wanita yang kini duduk disampingnya, wanita yang sama mematikan televisi. Nana tersenyum pedih, mengelus perutnya dengan tatapan kosong.

"Tapi yang dibilang media benar, gue emang anak haram." Ucapan itu begitu menyakitkan, siapapun akan merasakan sakit di hati mendengar suara lirih itu berucap.

"Bahkan gue juga lagi ngandung anak haram." Nana terkekeh tanpa isyarat. "Anak haram memang takdirnya juga mengandung anak haram."

"Nggak ada anak haram di dunia ini, Nana." Wanita itu menghela napas berat. "Anak yang lahir karena masalah itu, adalah hadiah dari Tuhan sebagai kesempatan bagi orangtuanya memperbaiki semua kesalahan mereka. Dengan cara... Membesarkan dia, membuat satu kesalahan itu menjadi sumber kebahagiaan."

Nana menatap sendu wanita disampingnya yang tengah mengelus perutnya. Wanita yang telah menyelamatkannya. Ia kira wanita ini akan ikut menjauhi serta mencacinya, nyatanya ia begitu tulus, Nana salah menilai.

"Bertahan demi anak lo, Na. Karena dia  yang akan menjadi sumber kebahagiaan lo suatu saat nanti... Dia yang akan jadi pelindung dan topangan buat lo."

Nana semakin menatap kosong kedua bola mata wanita dihadapnnya. Tangannya mencengkeram kaus tepat di perutnya. Rasa sakit di hatinya semakin menjadi.

"Nangis Na, jangan diam aja. Gue lebih baik liat lo nangis kenceng, dari pada diem kayak gini." Wanita itu membawa Nana kedalam pelukan hangatnya.

Seketika tangis Nana pecah. Ia menumpahkan semua rasa sakitnya di pundak wanita yang telah menyelamatkan hidupnya, menyelamatkan dirinya saat rencana di otaknya berfikir untuk bunuh diri.

"Menangis memang cara terbaik untuk ngungkapin segala hal yang sulit diungkapin." Wanita itu mengusap lembut bahu Nana, menahan tangisnya agar tidak ikut pecah.

Tangis Nana semakin menjadi, terdengar begitu memilukan dan memekakkan telinga. Tapi ini lebih baik, bebannya seakan mulai berkurang. Gundah di hati mulai menyusut saat ia mencurahkan isi hati dengan menangis.

"Everything will be oke, Na. Gue disini, selalu siap nemenin lo."

─ ✰್



Menurut kalian, ini alurnya kecepetan apa biasa aja?

Luce Luminosa ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang