quattro ④

4.1K 580 50
                                    

─ ✰್

Kumpulan beberapa pria di kantin, bersama kepulan asap rokok menyatu diudara. Meja pojok kantin sudah menjadi tempat khusus untuk Jeno dan kawannya, tidak ada yang berani mengganggu atau orang itu akan celaka.

"Gimana Jen cewe kemarin?"

"Kayaknya boleh jadiin bahan taruhan."

"Boleh banget itu sih. Bodynya bagus begitu, mana bisa dilewatin."

Jeno tak menanggapi ucapan teman-temannya, hanya menyandar pada bangku dengan rokok terapit di sela jarinya.

"Kalau lo gak mau, buat gue aja Jen."

Jeno menghembuskan asap dari mulutnya dengan santai. "Jangan coba sentuh dia... Punya gue!"

"Wess santai bos, kalau lo udah merintah kita gak bisa apa-apa."

"Jadi lo mau apain dia? Gak biasanya lo seperhatian ini sama cewe. Sampe nyari informasi dia--" Ucap dengan sinis seorang pria bule yang sedari tadi hanya diam.

"Gue gak perhatian!" Jawab Jeno dengan nada rendah. "Dia yang duluan lawan gue."

"Ck, serah lo Jen." Ucap acuh pria tadi.

"Eh tuh dia, panjang umurnya."

Jeno menipiskan bibir saat melihat Nana berjalan memasuki kantin bersama dua temannya.

Jeno bangkit menghampiri Nana yang sedang memesan makan, menghimpit Nana dari belekang yang membuat gadis itu memekik terkejut.

"Lo apa-apaansi, Jevan!" Nana memekik sinis, menepis tangan Jeno yang melingkar di pinganggangnya.

"Gue yang bawa."

"Gak usah!" Nana memukul tangan kanan Jeno yang akan mengambil alih nampan miliknya.

"Ck, lo!

"Na, udah biarin aja." Bisik Felly dengan takut pada Nana.

"Udah kasih Jeno buru." Kini Ryu berbisik kesal agar Nana membiarkan Jeno mengambil alih nampan itu.

Nana berdecak kesal, menatap kedua temannya yang takut akan Jeno.

"Gak perlu, gue bisa sendiri!" Nana mendorong Jeno dan mengambil nampannya dengan kasar, berlalu pada meja kosong untuk ia duduki.

"Nana bego."

"Mati aja ini."

Bisikan kedua teman Nana mengalihkan Jeno untuk menatap mereka dengan dingin.

"Lo berdua... Cari tempat duduk lain." Ucap Jeno dengan tajam.

"O-oke."

Setelahnya Jeno berlalu menghampiri Nana yang kini sudah asik makan dengan pandangan yang tetap pada ponsel.

"Jevan!" Pekik Nana dengan kesal saat Jeno mengambil ponselnya.

"Kalau makan jangan sambil main hape." Jeno mencubit gemas hidung Nana, namun tetap dengan wajah datarnya.

Nana menepis tangan Jeno, mood makannya sudah hilang. Apalagi kedua temannya ia lihat duduk jauh dari meja yang ia tempati, lalu tatapan orang-orang yang memandangnya dengan sinis.

"Jangan main-main sama gue, Jevan!" Ucap Nana penuh penekanan.

Jeno mengangkat alis remeh. "Kenapa? Lo takut, hm?" Jeno mendekatkan wajahnya pada Nana.

"Takut identitas lo kebongkar?" Bisik Jeno menatap kedua bola mata jernih Nana. "Anak dari pengusaha nomor dua dan butik nomor satu... Tapi, gak diakui."

"Nana Nayyara Suh."

Pekikan di penjuru kantin terdengar memekakkan karena Jeno baru saja mengecup pipi Nana dengan tiba-tiba. Namun pekikan tertahan kembali terdengar, saat Nana menampar Jeno.

"Lo!"

"Kenapa? Takut?" Jeno berdecih saat merasakan ujung bibirnya berdarah karena tergores kuku panjang Nana.

"Gue bisa aja sekarang bongkar rahasia--"

Nana mencengkeran tangan Jeno dengan tangan mungilnya yang gemetar serta keringat dingin. "No, please."

Jeno terkekeh. "Tapi gue mau. Gimana ya reaksi orang orang ternyata selama ini pengusaha Suh punya anak..." Keno bangkit dari duduk menatap sekeliling kantin.

Nana ikut bangkit dengan cepat, mencengkeram ujung seragam milik Jeno. "Jevan, hidup lo gak akan tenang kalau lo berani bongkar rahasia gue." Ucap Nana dengan bibir gemetar.

"Siapa yang hidupnya gak tenang? Gue atau lo?" Jeno mengacak surai gelam Nana. "Pulang gue tunggu di parkiran, babe."

Nana menghela napas pelan saat Jeno berlalu dari kantin, badannya terduduk lemas saat kedua temannya menghampiri. Dan suara berisik membicarakan kejadian tadi mulai terdengar.



"Jeno gak beneran kan Mark?"

Yang ditanya mengangkat bahu acuh. "Gak, hatinya kan cuma buat lo Ca."


💮💮💮


Nana berdiri di post seperti biasa, menunggu jemputan ditemani satpam sekolah. Mengobrol hingga jemputannya datang.

Namun saat deru beberapa motor berhenti, Nana menghela napas lelah kemudian. Pandangannya ia buang kemanapun asal tak berpandangan pada sekumpulan anak-anak perusuh.

"Hoi!"

"Nana lo dari tadi ditungguin Jeno, noh."

Nana abai pada teriakan itu, memilih memainkan ponsel saat satpam sekolah izin menjalankan tugas.

"Woi gak usah sok jual mahal gitu deh! Jeno udah nunggu lo diparkiran!"

Nana mendelik tak suka saat Caca berteriak, membuat beberapa pasang mata menatapnya dengan sinis.

Nana memekik saat Caca menarik tangannya hingga ia berdiri dengan oleng.

"Apa apaansi lo!" Nana menepis kasar tangan Caca.

"Lo yang apa apaan! Dari tadi udah ditungguin, dipanggil gak nyaut. Gak tau diri!"

Nana menepis lagi tangan Caca yang menunjuk dirinya. "Gue gak minta dia buat nunggu gue." Ucap Nana dengan rendah. Tatapannya beralih sinis menatap Jeno yang baru saja datang.

"Gue bukan cewe murahan kayak lo, yang sukanya nyamper cowo berandal gak jelas." Nana terkekeh remeh melihat wajah memerah Caca.

Nana semakin tersenyum miring menatap Caca saat Jeno menarik lembut tangannya, menghampiri motor Jeno yang terparkir asal.

Nana menepis tangan Jeno. "Mobil jemputan gue udah dateng."

"Lo sama gue!" Jeno kembali menahan tangan Nana.

"Nggak!"

"Pulang sama gue!"

"Nggak Jevan." Nana kini menatap Jeno dengan malas. "Mending lo anter Caca. Kayaknya dia cemburu."

Nana tersenyum manis pada Caca, melambai tangan sebelum menghampiri mobil jemputannya.

"Sial!"

─ ✰್

Luce Luminosa ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang