t u j u h

1.6K 317 14
                                    






Sunghoon melangkahkan kakinya ke area sekolah, pasalnya dia adalah anggota OSIS yang terpaksa harus hadir di hari minggu yang sangat amat cerah ini untuk rapat. Matanya menelisik ke segala penjuru sekolah, meskipun hari minggu rupanya ada beberapa anak yang datang ke sekolah.

"Kenapa berhenti?"

Sebuah suara dan tepukan pada punggung membuatnya terkejut dan sontak menoleh mendapati sosok ketua OSIS yang tersenyum padanya.

"Eh? Heeseung rupanya... aku hanya memperhatikan lingkungan sekitar sini" jawab Sunghoon.

"Oh... kalau begitu mau ke ruang OSIS bersama?" Tawar Heeseung dan dibalas anggukan oleh Sunghoon.

"Tumben kau sendirian? Kemana Sunoo dan Geonu?"

"Mereka bukan anggota OSIS"

"Begitu rupanya, oh iya! Sunoo jika ke sekolah selalu membawa benda aneh... itu apa?"

"Entahlah, yang pasti itu titipan papanya"

"Sebuah pedang api, kan?"

"Hah?"

Lalu keduanya berjalan dalam keheningan di koridor sekolah. Sunghoon sendiri lebih memilih untuk berjalan dibelakang Heeseung sambil otaknya memikirkan kenapa rasanya ada yang aneh dan janggal. Menyadari tali sepatunya terlepas, Sunghoon berjongkok untuk mengikatnya dan Heeseung ikut berhenti kemudian ia kembali berdiri dan melangkahkan kembali kakinya sendirian.


--------------------




Disebuah rumah yang cukup megah, tepatnya di sebuah kamar di lantai atas terlihat Jay yang meringkuk ketakutan diatas kasurnya. Tampilannya acak-acakan tak kalah dengan kondisi ruangan tersebut yang terdapat banyak sekali barang pecah dan berserakan, bibirnya tak henti-hentinya menggumamkan kata "maaf", "kumohon pergilah", "jangan", "biarkan aku bebas", "ayah" .

Matanya kini beralih pada lukisan besar yang ada di kamarnya. Lukisan yang dibuat sang ayah setelah kematian ibunya, lukisan dimana ayahnya menjual dirinya pada iblis, dan lukisan itu bergambar dirinya sendiri yang sedang tersenyum paksa dalam bayangan ratusan tangan.

"Ayah, kumohon jangan sakiti teman-temanku lagi.... Mereka tidak bersalah"

"Tapi mereka ingin menyakiti dan mengambilmu dari Ayah, Jay"

"Ayah..."

"Akan Ayah buat mereka yang mendekatimu bahkan menyakitimu merasakan rasa sakit, Jay"

"Hentik---- ARGGHHH DENGARKAN AKU SEKALI SAJA, AYAH"

Terlambat, bayangan hitam sang ayah lenyap bak tertelan angin dari kisaran Jay. Ia hanya bisa pasrah dan tak tau harus meminta tolong pada siapa dan bagaimana karena hasilnya pasti sama saja dimana dia akan dianggap depresi akibat kematian ibu dan ayahnya.

Semua kejadian ini bermula ketika sang ibu tiada karena dicelakai oleh rekan bisnis ayahnya, saat itu umur Jay masih 10 tahun dan ia sudah mengikhlaskan kepergian sang ibu. Namun tidak dengan sang Ayah, ia tampak sangat tertekan dan melampiaskan semua rasa dukanya pada pekerjaan di kantor dan melukis abstrak. Jay hanya bisa menatap iba pada sang Ayah dan memberinya semangat, ia kira itu cukup tapi nyatanya hari itu tepat di malam ulang tahunnya yang ke-11 semua terjadi.

Jay mendengar suara gaduh dari depan kamarnya yang ditempati sang ayah, awalnya ia tak peduli dan berpikir mungkin ayahnya sedang membuat kanvas tapi pikiran itu tak bertahan lama ketika ia mendengar suara pecahan barang. Tanpa pikir panjang Jay langsung mendobrak pintu kamar sang ayah dan menemukan ayahnya sudah terkapar dengan darahnya yang terciprat di seluruh penjuru kamar, sepasang mata elang milik Jay tidak terfokus pada jasad sang ayah melainkan lukisan besar yang menampilkan dirinya sedang duduk sambil tersenyum dengan latar belakang bayangan tangan mengelilinginya.

DemonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang