Bagian 34

24 6 0
                                    

Setelah makan malam yang cukup ramai tapi juga menguras emosi itu, akhirnya mereka memutuskan untuk pulang. Ah, bukan pulang, mereka masih ingin banyak berbincang yang pada akhirnya membawa mereka untuk menelusuri kota di tengah malam yang dinginnya tak perlu diragukan lagi.

"Dingin ya?" David memulai perbincangan. Alina hanya tersenyum sebagai jawaban, gadis itu sekarang tak tahu harus bagaimana karena sekarang mereka berjalan beriringan. Hal yang tak pernah sekalipun Alina bisa bayangkan sejak menyadari dia menaruh rasa pada David.

"Emm... Soal acara pertunangan kamu..."

"Aku bakal usaha buat cegah semua ini, aku mungkin nantinya bakal bilang ke mamah kalo nggak mau tunangan apalagi nikah sama Abid." Alina menjawab dengan nada ragu yang jelas sekali terdengar di sana.

"Kalo kamu nggak yakin sekarang, coba ubah mindset kamu yang berpikir kalo kamu bakal gagal ngebujuk orang tua kamu. Aku yakin kok, mereka pasti ngerti kalo kamu bisa yakin sama apa yang kamu minta dari mereka."

Alina hanya terdiam menatap David yang ternyata bisa tahu keraguan dalam dirinya. Melihat itu, David terkekeh kecil.

"Aku tuh cenayang, makanya tau gimana perasaan kamu sekarang." Kompak keduanya tertawa.

Jawaban absurd David yang jarang sekali keluar dari bibirnya sungguh membuat Alina sedikit terhibur. Gadis itu sadar kalau dirinya tak bisa menyembunyikan ekspresi kesedihannya.

"Em... Makasih ya," Alina menunduk saat mengucapkan itu, membuat David gemas setengah gila dengan gadis yang berjalan disebelahnya ini.

"Makasih buat? Makasih karena aku ngaku cenayang jadi kamu nanti bisa tanya-tanya masa depan gitu?" Lagi-lagi David menjawab absurd. Alina kembali tersenyum.

"Garing ya?" Sadar diri David akhirnya mengaku bahwa lawakannya sangat tidak berkelas dan Alina justru mengangguk yakin. Tanpa sadar justru momen itulah yang membuat keduanya tertawa.

"Ehem... Dunia serasa milik berdua nih, yang lain ngontrak!" Itu suara dari depan mereka, Rezaldi.

"Biarin aja, lagi PDKT kali si masnya!" Suci tak mau kalah.

Dari kejauhan para penggoda itu melihat jelas wajah dua sejoli itu memerah karena tersipu malu tapi mereka hanya pura-pura tak tahu, tak ingin mengganggu momen yang mungkin tidak bisa diulang lagi oleh Alina jika pernikahan itu kelak akan terjadi.

"Apa apa?! Nggak denger maaf yaa!" David membalas yang membuat Alina hanya menggeleng gemas.

Coba saja Alina sudah merasakan kebahagiaan kecil ini sejak dia sembuh dari amnesianya, gadis itu yakin detik ini dia akan lebih bahagia lagi.

Memang hal yang sederhana, hanya berjalan menembus dinginnya kota tengah malam melihat beberapa orang lewat mungkin baru pulang dari kerja atau baru pulang dari ngopi di sebuah warung pinggir jalan, semua itu sederhana, sangat sederhana tapi yang membuatnya lebih bahagia adalah bersama dengan mereka yang yakin bahwa dirinya adalah bagian dari mereka di masa lalu dan sekarangpun Alina merasakannya.

Rasanya cukup sulit mengeluarkan kata yang pantas untuk mendeskripsikan perasaannya dan lagi pemandangan indah yang selama ini Alina dambakan ada di sebelahnya, sedang bercerita bagaimana susahnya dia harus menyesuaikan diri saat sedang berlatih di bawah sinar matahari yang terik.

Alina tidak menyela sedikitpun, gadis itu hanya mendengarkan, benar-benar mendengarkan suara David yang seolah jadi alunan musik merdu di telinganya.

Kalau Kau izinkan, biarkan aku tetap pada posisi seperti ini. Melihat wajah David yang sangat antusias kini membuat Alina kembali timbul kepercayaan diri untuk bicara terus terang pada orang tuanya, mungkin juga bicara tentang perasaan yang ia simpan untuk David kepada keluarganya.

IntuisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang