Bagian 21

320 37 6
                                    

Pagi ini, suhu udara di Malang masih pada batas sewajarnya. Isya pun sudah bangun untuk memersiapkan diri menjelang turnamen silatnya. Saking sibuknya memersiapkan diri hingga gadis cantik itu lupa bahwa partner-nya itu belum juga terbangun dari mimpinya.

Melihat jam yang sudah menujuk pada angka 7 membuat Isya sedikit bingung dengan Suci yang jarang bangun jam segitu, dia lebih sering bangun lebih awal apalagai saat turnamen.

Setelah merapikan semua keperluannya untuk pertandingan sore nanti. Isya langsung pergi ke kasur yang berjarak satu meter darinya.

"Ci, bangun udah jam 7," ujar Isya sembari menepuk halus bahu Suci.

Ada suhu yang berbeda saat Isya menyentuh bahu Suci yang tidur dengan selimut yang hampir menutupi seluruh tubuhnya.

Isya terdiam sejenak, mencoba berpikir dan mengira-ngira apakah gadis ini sedang sakit? ya, dia tau Suci sedang sakit hati tapi tidak panas seperti demam.

Sontak Isya langsung memanggil official timnya untuk segera datang ke kamarnya. Guratan kekhawatiran tertera jelas di sudut wajah Isya. Gadis itu terus meraba kening Suci dan mengompresnya dengan air dingin.

Suci selalu seperti ini, apapun hal yang menyakiti hatinya maka seluruh tubuhnya juga akan menunjukkan reaksi yang sama, hingga membuatnya dengan mudah sakit demam.

Smartphone Suci berbunyi, telpon dari sahabatnya, Hanif.

Sejenak Isya terdiam, entah apa yang dipikirkannya hingga sedetik kemudian Isya bingung harus menjawab seperti apa. Dia tau Hanif pasti ingin menanyakan persiapan Suci tentang turnamennya kali ini.

Tangan Isya bergetar, dia bingung harus menjawab telpon atau membiarkannya. Akhirnya dengan sangat terpaksa Isya mengangkat telpon dari Hanif.

"Assalammualaikum," ucap Isya bergetar, "Waalaikumsalam. Loh, kok bukan suara Suci. Ini siapa ya?" Suara diseberang telpon itu terlihat bingung karena dia tau itu bukan suara pemilik smartphone.

Sontak Isya berpikir harus menjawabnya bagaimana,"Ini Isya, Nif. Ada apa ya?" Tanya Isya masih berhati-hati, "Oh Isya. Sucinya ada?"

Dan pertanyaan itu yang sedang dipikirkan Isya tentang jawabannya akhirnya muncul dari seberang telpon.

Gadis itu bingung harus menjawab seperti apa. Dari cerita yang pernah didengarnya dari Suci, laki-laki manis itu adalah sosok yang penyayang dan mudah panik saat ada salah satu dari mereka yang sakit, terlebih lagi bila pada Suci.

Isya masih ingat saat demam yang dialami Suci sesampainya dari Bandung, Hanif langsung membatalkan kepergiannya ke Malang dan memutuskan untuk dua hari tetap tinggal dan menjaga Suci hingga sembuh.

Isya takut kejadian itu kembali terjadi, Hanif akan membatalkan keberangkatannya ke luar kota dan memutuskan tetap di Malang dengan alasan menunggu Suci hingga sembuh.

"Sya?" Suara halus di smartphone itu membangunkan lamunan Isya.

"Em. A a a anu Nif. Ssssuci masih tidur," jawab Isya dengan terbata-bata sembari refleks menutup matanya, "Masih tidur? Ini kan udah jam 7, gak biasanya dia belum bangun. Suci gak papa kan, Sya?" Tanya Hanif yang mulai terdengar nada kekhawatiran di telinga Isya, "Ba-gas," gumam Suci pada sela-sela tidurnya.

Nama itu sontak membuat Isya terkejut, nama yang selama ini menjadi satu hal yang disayang Suci dan kini dia harus tersakiti oleh nama itu.

"Ba-gas," gumamnya lagi, gadis itu mengigau, "Sya, itu suara Suci kan? Dia kenapa?!" Tanya Hanif yang mulai meninggikan nada suaranya.

Isya terkejut saat melihat posisi duduknya saat ini. Dia berada di bibir kasur dan sangat dekat dengan Suci untuk mengompres gadis itu.

"Sya, Suci kemana? Itu suara Suci kan?" Tanya Hanif lagi yang kali ini nada khawatirnya sangat jelas.

IntuisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang