Bagian 19

403 38 6
                                    

Tempat itu ramai anak kecil bermain disana, tawanya kentara. Mereka sangat bahagia walaupun wajah pucat mereka tak bisa menyembunyikan penyakit ganas yang mereka idap.

Suci tersentak melihat tempat itu, dia tak menduga sahabatnya akan mengajak ke tempat ini. Sayangnya, mata kesedihan itu masih tidak bisa disembunyikan.

"Kamu lihat mereka, mereka punya beban yang lebih berat daripada kamu, mereka punya sakit yang lebih sakit daripada kamu tapi mereka masih bisa tertawa bahagia seakan-akan gak terjadi apa-apa sama mereka," ucap David sambil terus menatap tempat yang penuh anak-anak tertawa bahagia, "Kamu harus bisa kayak mereka," ujar Hanif menyenderkan kepala Suci dibahunya.

Tarikan sudut mulai terlihat dari bibir mungil Suci, "Kita masuk yuk," ajak Alina dan mereka masuk ke tempat itu.

Ruangan itu penuh dengan anak kecil bermain, mereka berlarian kesana-kemari berebut mainan dengan temannya yang lain.

Tempat itu adalah rumah singgah untuk anak pejuang kanker. "Atas nama Alina Putri?" ucap resepsionis itu mengejutkan Suci dan Hanif yang duduk di kursi ruang tunggu. Alina mengangguk.

"Kamu tau Vid?" tanya Hanif dan David membalasnya dengan anggukan. Mereka tersenyum melihat Alina yang masih berada diresepsionis, jiwa mulianya masih sama seperti dulu.

Mereka masuk ke dalam ruangan yang penuh warna-warna cerah. Anak-anak bermain dengan riang disana. Wajah pucatnya sama sekali tak menghalangi keceriaannya, "Mereka ceria-ceria ya," bisik Suci pada Hanif.

Hanif mengangkat sebelah alisnya sambil memberikan kamera pada Suci, senyumnya meluncur di depan Suci, masih terlihat manis walaupun di ujungnya harus terhias lebam biru. Suci menerimanya dengan senyum yang mulai terlihat, mata kesedihan itu mulai menghilang.

Mereka disapa dengan hangat oleh pengurus rumah singgah itu, "Anak-anak kita kedatangan kakak-kakak hebat nih," ucap guru itu dengan riang disusul sorakan anak-anak kecil itu, tawa mereka sangat kentara saat pengurus itu merkenalkan punggawa kebanggaan Indonesia itu satu persatu.

Banyak diantara mereka yang ingin memiliki cita-cita seperti punggawa itu. Sakit yang dialaminya bahkan tak menghalangi semangat mereka saat menyebutkan apa cita-cita mereka. Tanpa tersadar, sudut mata cantik Alina mengeluarkan sebutir kristal bening yang segera diusapnya agar anak-anak itu tak melihat aliran air hangatnya.

Mereka sangat menikmati kehangatan ini, anak-anak itu sangat lucu.

"Kak Suci habis nangis ya?" tanya seorang anak perempuan yang duduk di kursi roda saat Suci sedang asik memotret dan bermain dengan anak-anak yang lain, "Enggak kok sayang. Kakak gak papa," jawab Suci sambil menghampiri anak perempuan itu yang duduk di kursi roda, "Tapi kok kayak abis nangis?" tanyanya lagi seakan tak percaya.

Suci menatap Hanif yang ada di seberang kursi roda anak itu mengharap Hanif bisa membantunya.

"Nama kamu siapa?" tanya Hanif berusaha mengalihkan pembicaraan, "Namaku Cindy," jawabnya, "Namanya bagus. Kakak mau tanya, Cindy kalo udah besar cita-citanya mau jadi apa?" tanya Hanif, "Aku mau jadi atlet bela diri kayak Kak Suci," jawabnya dengan riang.

Suci tersentak mendengar pernyataan itu, air mata yang belum sepenuhnya kering itu ingin terjun kembali tapi Hanif menggelengkan kepala melarang Suci untuk menangis.

Suci menarik nafas panjang berusaha menguatkan diri, "Kamu harus berusaha terus supaya cita-cita kamu bisa terwujud dan kakak berdoa semoga kamu bisa jadi atlet bela diri yang bisa banggain bangsa Indonesia," ucap Suci menahan tangis sambil mengecup kening anak perempuan itu.

Hanif mengusap ujung matanya, dia hampir saja meneteskan air mata melihat keinginan besar anak-anak pejuang kanker itu untuk bisa seperti mereka, menjadi kebanggan Indonesia.

IntuisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang