Setelah perbincangan singkat dengan Alina, David, Febri, Hanif, dan Rezaldi berniat untuk menunggu Suci dan Isya di lobby hotel. Pagi ini mereka hanya latihan singkat sebelum nanti sore akan latihan di lapangan.
"Merleka benerlan ke sini nggak sih?" tanya Febri sembari mengibas-kibaskan handuk kecil ke lehernya. David yang sedari tadi hanya diam akhirnya menoleh ke arah Febri, "Gak tau... Suci semalem ngabarin gak sih?semalem tuh dia telpon tapi gak aku angkat, orang udah tidur." jawab David kemudian.
"Lagian telpon kok malem banget, dikira orang stand by dua puluh empat jam apa?" rutuk Rezaldi sembari memainkan vas bunga yang ada di atas meja. Sebelum akhirnya bahu kanan Rezaldi ditepuk dengan keras, "Aduh!" serunya.
Rezaldi yang mengenali geplakan itu langsung melihat ke arah David, Febri, dan Hanif yang cekikikan sembari mengarahkan alis ke arah belakangnya. Dengan menahan nafas Rezaldi menoleh ke belakang.
"Ngomong apa tadi?" srobot Suci dengan nada ketus. Cowok bermata cokelat itu meringis sembari menunjuk dua jarinya pertanda peace. Sofa lobby-pun pecah oleh tawa.
"Coba diulang lagi tadi ngomong apaan?" Suci kembali menodong pertanyaan yang sama sembari duduk di sebelah Rezaldi, menekuk semua wajahnya.
"Gak papa Suciii," jawab Rezaldi sembari merangkul Suci tak lupa menujukkan cengiran khasnya. Gadis berkerudung abu-abu itu hanya berdeham sebagai jawaban. Melihat wajah Suci yang nampak masih kesal membuat Rezaldi melirik ke arah Isya yang duduk di sebelah kanannya. Isya pun hanya membalas dengan gelengan lalu mengangkat kedua bahunya, tidak tahu.
"Kenapa sih, Ci?" tanya David yang duduk di hadapan Suci. Gadis itu semakin membuat wajahnya tertekuk. Rezaldi masih mengamati ekspresi sahabatnya itu, "Kenapa?" kali ini ia mengeratkan rangkulannya.
"Aku tuh males ke sini tau...Isya tuh maksa mau dikenalin sama Alina padahal mah mau ketemu bulepotan." jawab Suci sembari melirik sinis dua orang di samping kanannya. Karena merasa dia disalahkan akhirnya Isya menggeleng cepat sebelum sahabatnya yang lain menertawainya.
"Dih, siapa juga yang mau ketemu Aldi. Aku tuh beneran mau ketemu Alina," protes Isya kemudian.
"Oh berarti gak ketemu karena bule dong ya...kasian banget si bule gak dikangenin," ejek David yang disusul tawa mereka semua.
"Nif, diem aja darlitadi. Ngomong kek emang kamu kirla kita ngelenong cuma ikut ketawa doang," ujar Febri yang membuat semua mata kini tertuju pada Hanif. Cowok manis itu hanya membalasnya dengan tatapan jengah, merasa giliran dia yang akan di-bully.
"Receh banget si Bow," seru Hanif kemudian, tak ingin dijadikan bahan bully-an sahabat-sahabatnya.
"Kaya kamu!" serobot Suci kemudian disusul tawa di sofa lobby.
Beberapa melirik sinis ke arah lobby. Suara berisik yang mereka keluarkan ternyata mengganggu orang-orang yang sedang sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Sedangkan keenam anak manusia yang sedaritadi di lirik sinis itu hanya menganggap angin lalu.
Begitulah mereka jika sudah dalam formasi lengkap. Membuat bising setiap sudut tempat mereka berada dan mungkin bisa saja tawa mereka bersaing dengan seruan para supporter di stadion sepak bola.
"Eh jangan berlisik tau. Kasian Isya malu tuh deket-deket kita." ujar Febri sembari menahan tawanya. Isya tersenyum.
Melihat Isya yang baru kembali lagi merasakan berkumpul dengan pasukan rusuh ini membuatnya harus menahan malu sedikit. Pasalnya memang mereka selalu saja terbahak-bahak jika sudah bertemu dan berbincang. Jadilah dia harus beradaptasi.
"Kita tuh kenapa malu-maluin banget sih. Kalo udah ngumpul pasti ketawanya ngakak, nggak liat-liat tempat dulu lagi," celetuk Hanif sembari memakan camilan yang dibeli Suci. Isya mengangguk menyetujui perkataan Hanif.
KAMU SEDANG MEMBACA
Intuisi
FanfictionTidak ada yang tau bagaimana ingatan seseorang dapat sembuh dengan begitu mudah. Namun, mudah saja seorang Alina Putri mengetahui perasaannya terhadap salah satu punggawa bangsa Indonesia. Perjuangan Alina untuk mengingat masa lalunya juga menimbul...