Bagian 30

87 19 0
                                    

"Tadi kok bisa ketemu Ryan itu gimana, Ci? Ada Bagas juga kan di sana?" Isya bertanya saat keluar dari lift.

Suci menengok kanan kiri melihat deretan kamar yang tertutup rapat, "Kamarnya Lina di mana?" bukannya menjawab pertanyaan Isya, Suci malah bertanya. "Ke sana!" jawab Isya sembari menunjuk ke arah kiri mereka, kembali berjalan menelusuri jejeran kamar hotel.

"Kamu tadi nanya apa, Sya?" tanya Suci sembari menengok nomor-nomor kamar hotel. Isya menghela nafas untuk bersabar, mengingat Suci benar-benar menyebalkan. "Kamu tadi bisa ketemu Ryan itu gimana?" tanyanya dengan nada kesal. "Oh nggak sengaja ketemu aja... Eh, ini kamarnya kan?" Suci bertanya saat ia berdiri di kamar hotel yang telah diberitahu Alina sebelumnya. Hampir saja Isya merauk wajah Suci yang menjawab pertanyaannya begitu singkat, "Ini anak kenapa sih?" gerutunya dalam hati.

Isya sebenarnya tahu penyebab Suci sangat singkat menjawab pertanyaannya, bahkan terkesan datar. Dia tahu pertanyaan awalnya menyangkut nama Bagas tadilah yang sejujurnya sudah tak ingin lagi gadis berkerudung itu dengar.

Setelah menunggu beberapa detik akhirnya Alina keluar dengan wajah sumeringahnya. Sejak kembalinya dia latihan dari sirkuit, Alina memang menunggu Isya dan Suci datang ke kamarnya. Gadis itu ingin bercerita tentang apa yang ia alami saat ingin pergi ke Jakarta. Ucapan Abid yang tiba-tiba saja ingin segera bertunangan membuat Alina benar-benar frustasi dan butuh solusi. Alina belum siap jika diminta bertunangan dengan Abid, jika boleh jujur gadis itu sebenarnya tak ada rasa lebih dari seorang sahabat untuk Abid.

"Jadi kamu mau tunangan sama Abid?!" Suci bertanya setengah terkejut setelah Alina menceritakan semua yang dikatakan Abid pada Isya dan Suci. "Terus kamu jawabnya gimana, Lin?" Isya ikut andil dalam perbincangan. "Aku bilang aku nggak setuju. Aku...aku nggak tau harus gimana sekarang?" Alina nampak bingung yang terlihat jelas dari ekspresi wajahnya.

Setelah bangun dari tidur panjangnya selama dua minggu. Gadis cantik itu terbaring lemah di kasur rumah sakit dengan aroma obat-obatan yang sangat khas. Koma yang dihadapinya selama itu benar-benar membuat semua orang kesayangannya khawatir.

Alina terbangun masih dengan bantuan oksigen. Gadis itu terlihat bingung melihat orang-orang yang ada di sekelilingnya menatap dengan penuh rasa bahagia, seperti menunggu putri tidur yang sudah berhari-hari tidak bangun.

"Abid panggilkan dokter ya, Tante?" laki-laki tinggi nan gagah itu penuh semangat keluar dari ruang rawat saat melihat gadis yang disayanginya akhirnya membuka mata. Setelah beberapa lama, akhirnya dokter setengah baya yang mengalungkan stetoskop dilehernya itu masuk bersama dua orang perawat disusul Abid. Dokter itu juga tersenyum bahagia, gadis yang terbaring itu justru dibuat kebingungan dengan apa yang terjadi di sekitarnya.

Setelah memeriksa Alina, dokter setengah baya yang awalnya menampakkan ekspresi bahagia itupun tiba-tiba saja kehilangan senyumannya. Keluarga yang terdiri dari ayah dan ibu Alina juga ikut kehilangan senyum saat melihat perubahan ekspresi sang dokter.

"Bisa saya bicara dengan anda?" ujar dokter itu sedikit berat.

Ayah dan ibu Alina mengangguk lantas mengikuti langkah dokter yang berjalan ke luar ruangan dengan ekspresi yang sama khawatirnya saat Alina masih koma.

"Ada apa, Dokter?" Ibu Alina yang sudah sejak tadi kebingungan akhirnya bertanya lebih dulu. Dokter itu menghela nafas, "Benturan yang dialami Alina membuat memori masa lalunya hilang, ini juga disebabkan oleh faktor Alina yang koma selama beberapa minggu ini, pak, bu." jawab dokter itu sembari menatap penuh rasa sesal pada ayah dan ibu Alina.

"Ma-maksud dokter apa?" Ayah Alina masih berusaha memastikan, "Alina amnesia karena kecelakaan itu, pak." ujar dokter itu.

Ibu Alina semakin menangis didekapan suaminya. Ibu mana yang tak sedih melihat putri tunggalnya amnesia dan pasti melupakan sosok wanita yang sudah merawatnya dari kecil.

IntuisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang