Rezaldi, Suci, dan Isya mengantar Hanif ke bandara menuju Malang.
Sedangkan Rezaldi dan Isya masih dingin. Percakapan mereka di cafe itu tak menghasilkan perubahan apapun sedangkan Suci hanya terus mengeluh pada Hanif tentang masalahnya ketika ditinggal sahabat-sahabatnya ditambah masalah Rezaldi dan Isya yang sama-sama memiliki ego tinggi.
"Pusing, Nif. Nih gimana sih? Alina belum kelar, Bule belum kelar. Sekarang kamu, dan yang lain balik ke klub. Gila nih lama-lama," keluh Suci menatap mata Hanif bak anak kecil, "Ya sabar. Besok kalo kesusahan, hubungin aku aja, aku siap bantu kamu," jawab Hanif sambil mengelus-elus kepala Suci.
Senyum manis itu kembali mendarat di retina mata Suci. Dia akan sangat merindukan momen itu. Di mana mata indah seorang Hanif mampu menenangkan siapapun yang menatapnya.
Panggilan untuk keberangkatan Hanif membuyarkan lamunan Suci. "Titip mamah ya Ci, kamu sering-sering ke sana ya... Kamu juga Le, bantuin mamah aku ya?" kalimat yang selalu diucapkannya ketika hendak pergi ke Malang.
"Siap Bos!!!" jawab Suci dan Rezaldi sambil hormat pada Hanif. Isya hanya tersenyum tipis melihat tingkah tiga bersahabat itu.
Di sisi lain, Alina masih bingung dengan kelima orang yang beberapa waktu lalu menghampirinya mengaku sebagai orang masa lalu. Banyak informasi yang didapatnya, mulai dari artikel atau bahkan mengorek-ngorek berita dari Farah, mantan kekasih Febri. Abid yang dipikirnya dapat meredakan masalahnya malah terus mengelak atas pertanyaannya, menganggapnya sebagai hal sepele yang tak harus Lina pikirkan. Padahal dengan Abid lah Lina dapat mengetahui semua yang ingin ia ketahui bahkan pada bagian dasarnya pula.
Sekali lagi, Abid hanya mengelak.
Farah masuk ke ruang kuliah Alina setelah materi kuliahnya selesai, "Lina, mau ikut abdi teu?" tanya Farah yang duduk disamping Lina, "Kamana?" jawab Alina sembari memasukkan foto ke dalam tasnya, "Ada deh, mau teu?" ajak Farah, "Hayu lah," jawab Lina sambil berdiri dengan semangat.
Mungkin dengan sedikit refreshing pikirannya akan tenang. Mereka jalan kaki menelusuri jalanan luas keluar dari universitas untuk pergi ke cafe kecil yang berada tak jauh dari tempat kuliah mereka.
"Aduh.. Gelo pisan maneh teh, jalannya jauh pisan naon teu bawa motor atuh?" keluh Lina sambil menempelkan pipinya ke atas meja karena jarak kampusnya menuju cafe dengan cuaca sangat panas membuat terasa sangat jauh, "Gak papa atuh sekalian olahraga," jawab Farah dengan santai walau sebenarnya dia juga lelah.
"Maneh teh mau pesen apa?" ucap Alina memanggil karyawan cafe, "Es cokelat wae lah," jawab Farah sambil mengipas-kipaskan tangannya ke lehernya, "Teh, es cokelat satu, cokelat hangat satu nya teh. Nuhun." ucap Lina sambil memesan dengan nafas yang masih terengah-engah.
"Gelo pisan," ucap Lina lagi masih tak percaya dengan yang dilakukan, "Maneh yang gelo, panas-panas gini pesennya cokelat hangat," sahut Farah yang heran dengan tingkah Lina, "Yang penting mah minum atuh, Far." jawab Lina dengan nafas yang mulai teratur karena minuman telah datang.
Saat menikmati minuman, seorang laki-laki memakai jaket dan topi lengkap dengan penutup wajah datang dan duduk di sebelah Lina dan Farah.
Alina bingung dengan orang itu dan Farah hanya diam melihat laki-laki itu dengan leluasa duduk di meja mereka, "Eh.. Maneh teh saha. Naon duduk ka sini, sana-sana!" ucap Lina mengusir laki-laki itu, "Eh eh eh... Apa apaan sih, nih liat nih siapa yang dateng," Jawab laki-laki itu sambil membuka penutup mukanya. "Kamu?" ucap Alina melototkan matanya.
"Iya Lina, ini saya Febri Hariyadi, pemain bola paling ganteng se Indonesia," jawab Febri sambil menyisir rambut klimisnya dengan tangan, "Alah.. Kepedean kamu mah, ngapain disini, mau ketemu Farah?" tanya Lina seperti sudah kenal dekat dengan Febri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Intuisi
FanfictionTidak ada yang tau bagaimana ingatan seseorang dapat sembuh dengan begitu mudah. Namun, mudah saja seorang Alina Putri mengetahui perasaannya terhadap salah satu punggawa bangsa Indonesia. Perjuangan Alina untuk mengingat masa lalunya juga menimbul...