Bagian 32

63 10 2
                                    

Riuh ramai terdengar di seluruh penjuru stadion. Chants-chants mendukung terus dikumandangkangkan demi menyemangati kebanggaan dan di sinilah tempat Garuda berjuang. Di stadion kebanggaan Indonesia yang jadi salah satu identitas negara di mata dunia, Stadion Utama Gelora Bung Karno.

Ada rasa bangga yang sulit dijelaskan bagi mereka yang menginjakkan kaki di sini, begitupun bagi Alina dan Farah. Pengalaman untuk pertama kalinya menginjakkan kaki di stadion kebanggaan Indonesia membuat mereka terkagum dengan berbagai hal, mulai dari desain dan dominasi warna merah putih yang jadi pengobar semangat. Sedangkan Isya, sudah beberapa kali dia kemari dan rasa bangganya tetap sama bahkan semakin besar.

"Suci nggak ikut, Sya?" tanya Farah sembari memerhatikan setiap sudut SUGBK dari luar sebelum masuk melihat pertandingan. "Katanya nggak bisa. Nggak dapet izin, kan bentar lagi dia ada turnamen nasional." jawab Isya sembari menenteng bungkus berisi kentang goreng.

"Jatuhnya kaya dipingit ya dia," celetuk Alina yang langsung dijawab kekehan oleh Isya. "Dia mah emang dari dulu kalo ada pertandingan nggak dibolehin ke mana-mana. Gitu juga dia nurut. Tapi nggak tau sih kalo pertandingan bola biasanya dia protes tapi ini diem-diem aja. Aku juga nggak paham." jelas Isya yang hanya dijawab anggukan oleh Alina sedangkan Farah masih terkagum dengan desain SUGBK.

"Oh ya, Sya. Kalo abis pertandingan gitu kita bisa nyamperin pemain nggak sih?" pertanyaan Alina itu membuat Isya tersedak kentang goreng.

"Eh maaf maaf, Sya!" Alina mengambil air mineral dari tasnya dan memberikan pada Isya. "Nggak papa kok," jawab Isya setelah kentang goreng mendarat mulus melintasi tenggorokannya.

"Kamu tadi tanya apa, Lin?" Isya kembali bertanya, bukan karena tidak mendengar, gadis itu hanya memastikan jika telinganya tak salah mendengar.

"Kalo abis pertandingan gitu kita bisa nyamperin pemain nggak?" Alina kembali mengulang pertanyaannya sedikit pelan, merasa bahwa pertanyaannya tadi cukup tidak masuk akal hingga membuat Isya tersedak.

"Oh... Kalo nyamperin sih bisa-bisa aja kalo kita keluarganya. Tapi kalo aku sama Suci biasanya nunggu sampe sepi dulu baru keluar dan ketemu mereka di luar. Biasanya sih gitu," jawab Isya yang kembali melanjutkan memakan kentang gorengnya.

"Isya!" seruan bernada serak itu datang dari belakang yang membuat Isya, Alina, dan Farah spontan ikut menoleh ke belakang.

"Ryan?"

Seru Isya setengah terkejut. Pasalnya sejak sibuk dengan skripsinya laki-laki itu sulit sekali diajak keluar bahkan hanya menonton bola. Ryan tersenyum dengan manisnya dengan tangan kanan di belakang seperti menggandeng seseorang.

"Pelan-pelan dodol. Cepet banget sih kalo jalan!" gerutu gadis berkardigan hitam itu pada Ryan.

"Tuh temen kamu tuh!" jawab Ryan sembari mengarahkan dagunya ke arah tiga gadis yang berdiri diseberangnya.

"Suci!" seru Alina, Farah, dan Isya bersamaan.

Setengah terkejut mereka melihat dua manusia yang sebenarnya sulit diajak keluar rumah saat sedang banyak kegiatan seperti ini tiba-tiba muncul dihadapan mereka.

"Tumben ke sini? Emang diizinin?" tanya Isya sembari menghampiri Suci dan Ryan.

"Iya dong. Kan berkat masnya nih. Mas Ryan Dandi Adiasa," jawab Suci sembari menepuk-nepuk bahu Ryan yang pasti membuat kesakitan karena saking kerasnya namun bagi Ryan tak ada apa-apanya, maklum dia seorang altet. Tapi mungkin itu juga serasa seperti hal yang membahagiakan untuknya. Ryan hanya tersenyum.

"Oh ini yang namanya Ryan ya?" ujar Alina yang langsung dijawab anggukan oleh Ryan.

"Aku Alina," sambungnya sembari menjulurkan tangan kanannya.

IntuisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang