Bagian 17

366 40 5
                                    

Keesokan harinya Suci langsung bertolak ke Malang ditemani Isya di bandara.

Banyak yang mereka bicarakan, termasuk cara mengembalikan hubungan Isya dan Rezaldi seperti dulu. Hubungan yang berakhir bukan karena keinginan mereka berdua. Padahal dulu, Isya dan Rezaldi adalah pasangan yang paling serasi.

Menurut banyak orang, mereka sama-sama memiliki sifat yang dewasa hingga banyak yang mendoakan mereka bisa meneruskan hubungan ke jenjang yang lebih serius, pernikahan. Namun hal itu kini hanya angan semata, karena perjodohan yang tak diketahui sama sekali oleh Isya memaksanya untuk mengakhiri hubungan dengan laki-laki yang mampu melukis tawa pada bibir mungilnya.

Suci langsung pergi meninggalkan Isya karena panggilan pesawat sudah didengarnya.

Satu hal yang belum dia lakukan untuk pergi ke Malang, dia belum bicara pada Hanif soal keberangkatannya ke Malang. Padahal sedari tadi Rezaldi sudah mengingatkannya untuk memberitahukan pada Hanif.

"Udah nanti aja", ucap Suci ketika mengingat pesan orang-orang tersayangnya itu.

Beberapa jam kemudian dia sudah tiba di Malang. Saat itu Suci langsung pergi ke hotel tempat dia menginap untuk meletakkan barang dan tanpa istirahat terlebih dahulu dia langsung pergi ke mess Arema, sekali lagi tak memberitahu Hanif tentang kedatangannya.

Suci langsung mencari taxi untuk mengantarkannya.

Sampai di mess Arema langkah Suci terhenti. "Maaf mbak, nyari siapa ya?" tanya petugas mess itu, "Saya mau ketemu Hanif," jawab Suci, "Maaf mbak gak bisa, pemain harus istirahat sekarang dan tidak boleh keluar," jawab petugas itu dengan tegas, "Tapi saya ada perlu sama Hanif, sebentar aja," ucap Suci sedikit memaksa.

"Gak bisa mbak. Mendingan mbak sekarang pergi, nanti mbak mengganggu pemain lain," jawab petugas itu dengan nada sedikit tinggi, "Pak sebentar aja, saya mau ketemu Hanif penting pak!" ucap Suci dengan nada sedikit keras, memaksa.

Tiba-tiba seorang laki-laki datang menghampiri petugas itu, "Pak, ono opo iki?" tanya laki-laki itu sambil memegang segelas kopi hangat di tangan kanannya, "Ini loh, Mas. Dia mau masuk ke mess. Gak bisa Mas, nanti mengganggu pemain lain," jawab petugas itu dengan tegas.

"Pak, ini adik e Hanif. Sampeyan ini kepiye to? Kalau Hanif tau dimarahin kamu nanti," jawab laki-laki itu.

Suci sama sekali tak memahami pembicaraan mereka, tapi dia berusaha memahaminya, "Oh begitu to Mas... Walah.. Masuk masuk mbak. Maafkan saya, saya gak tau kalo mbak ini adiknya Hanif," ucap petugas itu sedikit ramah.

"Hah?" Suci terkejut mendengar pernyataan petugas itu, "Iiiya gak papa," jawab Suci gugup.

Suci langsung masuk ke dalam sembari melihat laki-laki yang baru saja bilang bahwa dia adiknya Hanif. "Kamu mau ketemu Hanif? Biar saya antarkan," ucap laki-laki itu sembari meluncurkan senyum manisnya.

Suci terus menatap laki-laki itu selama perjalanan menuju kamar istirahat Hanif. Dia seperti mengenal laki-laki itu, tapi di mana? Dia berusaha mengingatnya sampai akhirnya. "Ya Allah... Ini Mas Dendi?" ucap Suci baru sadar kalau yang menolongnya adalah kapten Arema, Dendi Santoso.

Dendi hanya tersenyum melihat ekspresi terkejut Suci. "Iya," jawabnya manis, "Aduh mas.. Makasih ya udah nolongin saya. Makasih banget," ucap Suci sambil menyatukan kedua telapak tangannya berterima kasih pada Dendi.

"Iya sama-sama... Kamu pacarnya Hanif ya?" tanya Dendi santai, "Hah?" pertanyaan itu langsung menjurus dan membuat Suci melotot, "Bububu.."

"Hanif sering cerita sama saya tentang kamu. Sebelum pertandingan dia pasti menjadikan kamu dan sahabat-sahabat kamu yang lain itu sebagai penyemangatnya. Hanif juga semangat banget kalo cerita tentang kamu. Saya jadi seneng kalo dia bisa bahagia, karena dengan itu dia bisa main bagus buat tim... Oh ya satu lagi, dia pernah bilang sama saya, kalo kamu dan ibunya adalah alasan utama dia semangat dan main bagus di tim," tutup Dendi dengan senyum manis tertera pada wajahnya yang dewasa.

IntuisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang