Cipratan air membangunkan tidur Suci, "Woy, bangun, dasar tukang tidur, kita sudah sampai," suara Rezaldi samar terdengar di telinga Suci,"Em," suara itu sebagai jawaban, "Am em am em, udah ayo burluan!" sahut Febri sambil menarik tangan Suci dari kursi.
Hanif dan David sudah keluar mencari seseorang yang sudah diberitahu Hanif tentang perjalanan mereka. Semua sudah berkumpul di depan stasiun.
"Buset, gerah banget yak?" kata Febri sambil membuka setengah penutup mukanya, tapi David langsung mencegahnya,"Lupa kamu ya? Nanti kalau ada yang kenal gimana?" bisik David, "Kalau ada yang ngenalin dia ya biar dia aja, kita kabur," sahut Hanif disusul tawa manisnya.
Saat ingin menaiki mobil tiba-tiba seseorang menghampiri punggawa itu, "Permisi, saya seperti mengenal kalian, ini teh a' Febri nya?ini a' Hanif, a' David, a' Rezaldi nya? Bener kan?" keempatnya tegang melihat orang itu menujuk pada nama yang benar.
"Em. Akang, hampura pisan, ieu teh bukan mereka, masa pesepak bola kasep disamain sama orang buluk kayak mereka," jawab Suci dengan sangat hati-hati.
Saat sahabatnya itu membuka mulut, maka semua akan terbongkar.
Untungnya akang itu percaya dengan omongan Suci dan pergi meninggalkan mereka.
Mereka bergegas menaiki mobil dan membuka penutup mukanya,"Hadeh.. Hampir aja kita ketahuan, untung Suci pinter ngeles," celetuk Hanif sambil merapikan rambutnya yang tertutup topi.
"Pinter ngeles kaya bajaj," sahut David, "Gak terlima aku, masa kita dikatain buluk, ganteng-ganteng gini dibilang buluk," sahut Febri yang tidak terima sambil merapikan rambut klimisnya.
Rezaldi tak kalah kesalnya, "Dia ngomong begitu sekalian menghina. Matanya ketutup kali, masa cowok ganteng kayak begini dibilang buluk. Dia mah dari dulu gak pernah sadar dengan kegantengan kita," sahutnya sambil mengusap rambut klimisnya ke belakang ala iklan pomade, "Idih sok ganteng banget sih kalian!" jawab Suci dengan ekspresi jijik terhadap kedua sahabatnya.
Selama perjalanan mereka penuh dengan canda tawa. Perjalanan mereka dipenuhi harapan besar untuk menemukan potongan pilar istana mereka yang hilang. Semoga rencana yang mereka lakukan akan sukses dan sesuai harapan.
David yang sedang asik bermain gitar di dalam mobil, berhenti sejenak. "Kita kan sudah sampai di sini, terus kapan kita mulai rencananya?"
Hanif langsung membuka HPnya untuk melihat susunan rencana yang telah ditulis di HPnya, "Habis ini kita ke penginapan temannya Febri. Kita mulai rencananya In Syaa Allah besok," jawab Hanif sambil menatap keempat sahabatnya.
"Nih anak rajin banget sih, rencana gini aja ditulis di HP. Gimana kalau rencana besar-besaran? Kamu hafalin ya Nif?" celetuk Rezaldi yang dari dulu tak habis fikir dengan kelakuan Hanif yang primpen kalau kata orang Jawa.
"Emangnya kamu, HP isinya game semua", sahut Suci disambung gelak tawa semuanya, termasuk sopir mobil mereka.
Mereka bahagia seakan tak ada yang membebani pikirannya. Padahal, dalam hati mereka terselip keinginan untuk menemukan potongan hati mereka yang hilang beberapa tahun yang lalu.
Saat mereka sedang asik bercanda, sopir mobil itu menanyakan kemana punggawa itu akan pergi, "Akang-akang dan neng ini teh sebenarnya mau kamana sih? Kunaon teu bawa mobil sendiri? Kalian kan orang terkenal," pertanyaan polos itu membuat punggawa itu tersenyum tipis.
"Akang, kita mau mencarli sahabat kita, kita sudah lama tidak menemukan dia," jawab Febri, "Sahabat kalian teh saha sih? Kok kalian sampai mencarinya?" sahut sopir itu lagi, "Namanya Alina Dwi Putri," jawab David membuat semuanya melongo.
Sebelumnya, David tidak pernah mau menyebutkan nama Lina lagi setelah kejadian itu, tapi saat ini?
Apa yang mereka dengar memang nyata, David menyebut nama Lina. Mungkin David memang benar-benar telah melupakan kejadian itu.
Hening sejenak.
Sopir itu kembali bertanya, "Alina Putri? Pembalap eta?" pertanyaan yang membuat 5 pasang mata anak manusia melotot penuh kemenangan.
"Iya kang, akang tau Lina siapa? Kok bisa tau?" tanya Suci girang, "Ya tau atuh, dia itu pembalap nasional. Tapi kalau Alina pembalap nasional, dia kok bisa tidak mengenal kalian? Apa dia sudah lupa dengan kalian?" tanya sopir itu.
Semua hening. Tak ada yang bisa menjawab, apa benar Lina telah melupakan mereka?
Mereka sampai di penginapan teman Febri, "Wah.. Selamat datang para punggawa bangsa, senang saya dapat bertemu dengan kalian", sambut teman Febri itu disusul senyum ramah dari mereka.
Saat masuk dalam penginapan itu, mereka benar-benar dibuat kagum dengan poster pembalap di setiap dinding dan beberapa poster Persib Bandung yang membuktikan bahwa dia adalan Bobotoh juga.
Rezaldi terus berjalan melihat isi rumah itu dan menemukan sesuatu yang menarik, "A' aa' teh kenal sama Alina?" tanya Rezaldi pada teman Febri, "Kenal atuh, dia mah pembalap nasional terkenal pisan, geulis lagi," jawabnya.
"Aa' teh suka balapan ya?", tanya Suci menghampiri teman Febri, "Iya teh, saya suka pisan sama balapan, mau cewek atau cowok pokokna mah suka pisan", jawab teman Febri.
Hanif yang duduk di sofa ruang tamu kemudian menghampiri Rezaldi, Suci, dan teman Febri yang sedang berbincang.
"Kalau saya lihat-lihat, poster pembalap cewek cuma dia aja. Yang lain mana a'?" tanya Hanif sambil memegang poster Alina, "Iya, saya suka sama Alina, dia pembalap yang baik," jawab teman Febri.
Suka? Suka dalam arti apa? Suka karena mengidolakan atau suka karena yang lain? Mungkin karena mengidolakan.
Febri dan David juga menyusul mereka di depan poster Alina.
" Abid ini juga pembalap nasional loh gaes," sahut Febri membuat semuanya melongo.
Dia pembalap?
"Wah keren nih dia juga pembalap," sahut David.
Perbincangan itu terus terjadi sampai malam tiba. Banyak hal yang mereka bicarakan, mulai dari sepak bola, balapan, dan bela diri.
Tak ada satupun yang membahas tentang Lina, entah apa alasannya. Abid pun tak ingin banyak mencari tau tujuan punggawa itu datang ke Bandung, dalam benaknya, mungkin punggawa itu hanya berlibur saja ke Bandung.
Terima kasih
😇😊
KAMU SEDANG MEMBACA
Intuisi
FanfictionTidak ada yang tau bagaimana ingatan seseorang dapat sembuh dengan begitu mudah. Namun, mudah saja seorang Alina Putri mengetahui perasaannya terhadap salah satu punggawa bangsa Indonesia. Perjuangan Alina untuk mengingat masa lalunya juga menimbul...