Bagian 20

313 32 2
                                    

Luka itu masih membekas hingga saat ini. Malam di Malang terasa sangat dingin menusuk hingga tulangnya.

Di atas rooftop padepokan silatnya, Suci terduduk pasrah menatap langit kota Malang. Kota yang malamnya berhasil menjatuhkan semua dongengnya dengan sang pangeran.

Air matanya masih setia menemani pipi halusnya. Tak ada bendungan yang sanggup menahannya, hatinyapun telah hancur tak bisa utuh kembali. Tangisnya masih sama dengan tempo hari. Smartphone-nya terus memancarkan cahaya pertanda pesan masuk beserta panggilannya.

Sesekali gadis itu menundukkan kepalanya menahan isakan tangisnya. Bibirnya sama sekali tak bicara, air matanya yang bicara, sesaknya sangat sesak. Banyak pertanyaan dibenaknya, haruskah dia fokus dengan turnamennya atau terus memikirkan kisah cintanya? Dia tak bisa menjawab.

"Suci," sapa seseorang dari belakang membuat Suci memalingkan kepalanya melihat ke sumber suara, "Ngapain disini, Ci?" tanya Isya tapi Suci hanya diam menatap kosong gedung-gedung yang cahayanya berkelip-kelip beradu dengan bintang.

"Kamu gak bales pesan dari sahabat-sahabat kamu?" tanya Isya lagi sembari melirik ke arah smartphone putih yang tergeletak di antara dirinya dan sahabatnya, "Jangan bikin mereka kepikiran, Ci." ucap Isya membuat Suci langsung menolehkan kepala dengan sorot mata yang mengatakan 'kenapa?'.

Isya tersenyum tipis, "Kalian saling sayang, satu terluka yang lain terluka. Satu sedih yang lain sedih. Satu seneng yang lain seneng. Satu bahagia yang lain bahagia. Kalian itu keluarga, saudara, segalanya. Kamu diam kayak gini mereka jadi semakin sedih dan merasa bersalah. Mereka akan terus kepikiran tentang kamu. Belum lagi orang tua kamu. Kamu mau terus kayak gini? Bikin mereka sedih dengan sikap kamu yang diam kayak gini? Sama sekali gak ngasih kabar sama mereka," Isya menghela nafas sementara Suci hanya tertunduk menangis.

"Aku mungkin gak pernah ngerasain yang kamu rasain. Tapi aku juga perempuan, aku bisa ngerti perasaan kamu, jadi aku mohon sama kamu. Jangan terlalu mikirin Bagas lagi. Lupain Bagas lupain kenangan kamu. Kamu liat Hanif, sahabat kamu, dia pernah disakitin sama Bagas tapi apa yang dia lakukan? Dia maafin Bagas, bahkan lebih dekat sama Bagas setelah kejadian itu. Kamu harus berbesar hati Ci. Ikhlasin semuanya," ucap Isya mengelus punggung Suci yang masih terisak.

Gadis itu tak bisa membalas ucapan Isya, dia hanya bisa menangis. Bibirnya terkunci rapat membiarkan air matanya yang berteriak.

Isya menatap nanar sahabatnya itu, tak biasanya dia menangis seperti ini. Pembawaannya yang cuek dan santai sama sekali tak terlihat malam ini. Isya pun ikut terbawa dalam duka Suci.

"Ci, Aldi telpon, kamu ngomong ya sama dia?" tanya Isya setelah smartphone-nya berdering pertanda panggilan masuk tapi Suci menggeleng, "Ayo Ci, setidaknya kasih mereka kabar biar tenang," ucap Isya sembari memberikan smartphone-nya pada Suci.

Gadis berhijab itu menghela nafas panjang, "Assalammualaikum," sapanya terlebih dahulu, "Waalaikumsalam. Alhamdulillah.. Akhirnya kamu ngomong juga," jawab Rezaldi dengan nada gurau khasnya, "Iya, maaf ya gak ada kabar," ucap Suci dengan suara serak menghias pita suaranya, "Video call mau? Ke HP kamu ya? Diangkat loh," jawab Rezaldi disusul jawab 'iya' dari Suci.

Tak berselang lama smartphone putih milik Suci berdering untuk entah keberapa kalinya.

"Woy... Kemana aja? Ditelpon gak diangkat-angkat. Sok sibuk apa gimana nih?" ucap David mengomel padahal dia tau sahabatnya tak mengangkat telpon karena sedang bersedih, "Berisik ah... Iyaiya, maaf ya semuanya," jawab Suci yang berusaha menyembunyikan sedihnya.

Saat yang lain sibuk menghibur Suci, Hanif hanya terdiam, dia melihat jelas kesedihan di sorot mata sahabatnya.

Kecurigaanpun muncul di benak Febri melihat tingkah sahabatnya yang menatap aneh sahabat perempuannya itu, "Hanif! Kok diem aja sih? Ngomong kek apa kek gitu, ngeliatin Suci mulu," omel Febri.

IntuisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang