Bagian 6

444 35 2
                                    

Sinar matahari berganti sinar bintang dan bulan.

Menikmati indahnya alam, Suci duduk lesehan di taman belakang rumah itu sambil memainkan gitar yang dipinjamnya dari David.

Dia memetik gitar itu penuh penghayatan, petikan gitar itu kemudian terhenti. Suci memikirkan seseorang, seseorang selain Alina. Entah siapa, hanya Suci dan Tuhan yang tau, atau mungkin ada diantara punggawa itu yang tau.

Siapa?

Suara langkah kaki menghampiri Suci yang sedang melamun menatap langit yang indah, "Nih tehnya," celetuk seseorang sambil memberikan teh hangat pada Suci dan duduk disampingnya, "Ngelamunin apa sih? kamu kalau lagi ngelamun biasanya lagi jatuuuhh..."

"Sssttt, jangan berisik", sahut Suci sambil membungkap mulut Hanif, "Jatuh cinta", serobot suara dari belakang, "Astaghfirullah Daviiid!" Suci langsung melotot ke arah belakang melihat David yang datang membawa martabak asin, makanan favorit mereka.

Suci yang melihat martabak asin di tangan David langsung lompat mengambil martabak dan duduk untuk memakannya, "Pinter banget sih, tau aja kalau lagi mau makan martabak," kata Suci yang senang melihat makanan kesukaannya.

"Febri, Rezaldi gimana? Martabak manis kan?" tanya Hanif, "Iya, mereka sama Lina kan suka martabak manis," jawab David yang membuat Hanif dan Suci menatapnya.

"Kenapa sih? Tiap aku nyebut nama Lina pasti pada kaget semua, aku bener-bener udah lupain itu. Kalian gak usah kaget gitu kali," sambung David yang menjelaskan pada sahabatnya yang masih aneh dengan sikapnya.

Kembali ke martabak, keenam punggawa itu ternyata memiliki selera martabak yang berbeda.

Suci, Hanif, dan David menyukai martabak asin, sedangkan Alina, Febri, dan Rezaldi menyukai martabak manis. Makanan malam minggu favorit mereka.

"Martabak asin itu emangnya, enak ya?" tanya Alina, "Enak tau," sahut Suci yang lahap makan martabak asin, "Mau coba?", tanya Suci sembari menunjukan satu potong martabak asin, "Boleh," sahut Alina dan Suci langsung menyuapi Lina dengan martabak asin.

Ekspresi Lina berubah aneh. Semuanya tertawa, "Makanya, kalau mau makan yang rasanya beda itu minum dulu, biar rasanya gak nyatu. Gak enak kan?" sahut Hanif yang tertawa melihat ekspresi Lina disusul tawa yang lain

"Eemm.. Minum minum, sumpah rasanya gak enak banget!" celetuk Lina sambil menggapai minum tapi tidak bisa, "Ini nih!" sahut David sambil menuangkan minum dan memberikannya pada Lina.

Febri dan Rezaldi lahap memakan martabak manis, "Gak mau nyoba?" tanya Suci, "Enggak!" jawab keduanya bersamaan, "Emang kenapa?" tanya Hanif.

"Orang manis makannya ya yang manis lah!" jawab keduanya disusul tawa yang pecah antara cowok-cowok itu, "Idih... Sok ganteng banget sih?" sahut Suci dan Lina bersamaan.

Perbedaan yang indah. Martabak yang berbeda tapi tetap pada tawa yang sama. Martabak persahabatan.

Tawa pecah diantara heningnya malam di taman belakang rumah penginapan mereka.

"Mereka itu orang paling pede diantara kita, sok ganteng," celetuk Suci sambil menunjukkan ekspresi sinis yang menghadap lurus ke depan.

"Mereka bertiga yang buat persahabatan kita lebih lengkap."

"Ada kubu kalem dan kubu cerewet", sahut David menyambung perkataan Hanif.

Mereka kembali menatap langit.

Hening.

Menikmati semilir angin yang berhembus, "Ngelamun?" bisik David pada Hanif yang membelakangi Suci dan membalasnya dengan tatapan usil.

IntuisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang