|Part 23| Seolah Hanya Debu

798 172 34
                                    

Berusaha untuk mengerti, tapi tak pernah dianggap siapa-siapa di sini
Berusaha untuk bertahan, namun hanya luka yang didapatkan.

Perihal bertahan itu sesuatu yang tak mudah. Harus menahan segala kepedihan, kesesakan, bahkan amarah di hatinya yang tak pernah bisa dikeluarkan begitu saja. Terus merasa di bedakan adalah sesuatu yang tak seharusnya di lakukan. Padahal keluarga, namun di dalamnya hanya luka saja yang tercipta. Definisi saling jaga tak ada di dalamnya. Penuh kasih sayang? Hanya omong kosong yang bisa dikatakan melalui suara, namun tidak dengan sifat dan perilakunya. Apakah ini di sebut keluarga? Bahkan kala seseorang mengharapkan itu, tak pernah terwujud di dalam kehidupannya.

"Prim," panggil Farel sembari mengetuk pintu kamar adiknya yang tertutup.

"Masuk aja. Gak di kunci," balas Prima dari dalam membuat Farel membuka pintu. Pandangan pertama kali yang ia lihat adalah adiknya yang sedang belajar dengan buku yang ada di tangannya.

Farel kemudian menutup pintu kembali. Pria itu tampak duduk di kasur Prima. Bukan duduk, melainkan membaringkan tubuhnya di sana. Farel menatap langit-langit kamar Prima yang menyala indah akibat lampu yang berwarna. Prima kemudian hanya diam dan melanjutkan membaca bukunya di meja belajarnya. Seolah mengabaikan keberadaan Farel yang sedang menatapnya.

"Ada hubungan apa sama Panji?"

Prima sontak menoleh. Mata itu menatap tak percaya pada sang kakak yang tiba-tiba bertanya dan pertanyaan itu tak bisa ia jawab untuk saat ini. Mengapa? Secara tiba-tiba? Padahal ia hanya menganggap Panji teman saja, untuk hari ini tak tahu ke depannya bakal seperti apa. Yang jelas ia tak mau berharap banyak perihal pria.

"Teman doang," balas Prima acuh tak acuh.

Farel yang mendengar itu segera terbangun. Ia kemudian duduk dengan mata yang terus menatap adiknya. Dari raut wajah Prima, adiknya tak berbohong soal rasanya, namun bagaimana dengan sahabatnya yang sudah telanjur menunjukkan ketertarikannya pada adiknya. Bukannya tak terima, hanya saja ia tak ingin Panji menjadikan adiknya sebagai bahan pelampiasan saja. Ia tahu Panji seperti apa. Tak mudah bagi pria itu untuk menaruh hatinya pada salah satu wanita, namun baru beberapa menit bersama adiknya, Panji seolah sudah jatuh cinta saja. Hal itu tentu saja membuat ia tak percaya.

Di luar ia terkesan dingin dan acuh pada Prima, namun ia tetap ingin membalas kesalahannya dengan menjaga Prima karena perpisahan itu membuat ia merasa bersalah meninggalkan ibu dan adiknya yang wanita di desa terpencil. Sementara dirinya tinggal di kota dan hidup mewah penuh berkecukupan.

"Gue gak suka lo main sama dia," balas Farel membuat Prima mengalihkan pandangannya.

"Kenapa?" tanya Prima dengan rasa heran.

"Dia gak baik buat lo. Lo harus jauhi dia. Ini perintah gue. Lo gak boleh main sama dia," sahut Farel membuat Prima menutup bukunya dan menaruhnya di meja dengan kasar.

"Terserah. Prima udah capek di atur. Gak boleh makan pakai itu, gak boleh keluar malam, gak boleh pakai baju ini itu, sekarang perihal teman juga?" Prima bertanya dengan rasa kesal di hatinya.

Alasan sang kakak tak masuk akal bagi dirinya. Ia bisa menilai mana yang baik dan benar untuk dirinya. Tak perlu bimbingan dengan sang kakak, ia bisa tahu bahwa Panji adalah pria baik yang bisa ia jadikan seorang teman. Hanya seorang teman bukan pria yang ia suka. Kenapa di sini semuanya terkesan sulit bergerak? Ia seolah hidup dalam permainan yang entah kapan akan berakhir. Sungguh ia lelah atas semua yang terjadi. Ia lelah. Di sekolah harus di bully, di rumah harus merasakan kekang dan nikmat hidup tak pernah ia dapatkan.

"Prima, gue lebih kenal sama dia. Lo baru di sini. Panji gak pantas buat lo," ujar Farel sedikit meninggikan suaranya membuat Prima menahan air matanya.

"Prima gak suka di atur kak. Terserah Prima mau gimana. Panji baik dan Prima suka berteman sama dia," balas Prima kemudian memalingkan wajahnya.

"Lo ----"

Perkataan Farel terputus begitu saja. Suara dering ponsel membuat ia harus mengambil ponselnya di saku celananya. Ia melihat nomor siapa yang sedang menelpon dirinya. Sungguh tidak tepat baginya. Jika ia sedang tak baik-baik saja, pasti wanita paruh baya ini selalu menelpon dirinya membuat ia harus menahan rasa kesalnya.

"Mama telepon," ujar Farel membuat Prima masih di tempatnya. "Sini."

Prima kemudian menghentakkan kakinya. Ia merasa kesal atas semuanya. Terpaksa ia harus duduk kala sang mama tirinya memanggil mereka dengan Vidio call. Farel tampak mengangkat telepon itu membuat wajah cantik Rina terlihat di seberang sana.

"Halo sayang. Apa kabar?"

Sapaan hangat dari Rina membuat Farel harus menahan rasa kesalnya. Mau tak mau ia tersenyum dan menjawab sang mama yang tampak bahagia di sana.

"Baik, ma."

"Kok gitu? Gak suka mama telepon?"

"Suka kok."

"Minggu besok mama dan papa pulang. Kamu mau minta apa?"

Farel kemudian menatap Prima yang ada di sampingnya. "Prim mau apa?"

"Eh. Bukan Prima. Mama nawarin kamu. Kalau Prima mah udah mama belikan baju."

"Terserah mama aja."

"Oke. Jaga kesehatan ya. Mama sayang Farel."

"Farel juga."

Tut.

Sambungan yang telah usai membuat Prima sedikit menjauh. Prima kemudian meninggalkan sang kakak dan membuka balkon kamarnya. Rupanya remaja itu menangis di sana. Ia dapat melihat bagaimana adiknya setengah berlari dan meninggalkan dirinya begitu saja. Ia kemudian ingin menenangkan Prima, namun saat ia ingin membuka pintu balkon itu, nyatanya tak bisa. Prima mengunci pintu balkon itu dari luar membuat ia tak bisa berbuat apa-apa di sana.

"Prima buka," ucap Farel membuat Prima menggelengkan kepalanya.

"Kakak pergi aja! Aku butuh sendiri."

"Kakak ----"

"Aku bilang pergi!" teriak Prima membuat Farel yang tak bisa berbuat apa-apa meninggalkan adiknya.

Sementara Prima yang melihat kepergian sang kakak mencengkeram kuat pagar pembatas. Ia menangis sejadi-jadinya. Tak peduli lagi bintang dan bulan yang menyaksikan dirinya tengah menangis sekarang. Ia mengeluarkan apa yang ia rasa. Sudah ia bilang, merasa di asing kan itu sakit. Mungkin jika ia berada di sekolah ia bisa menerima di asingkan dan tak di anggap, namun jika di rumah dan lingkungan keluarga rasanya sangat sakit.

"Prima kangen ibu," lirih Prima sembari mencengkeram kuat pagar pembatas itu dengan kata-kata yang lirih dan air mata yang terus menetes di pipinya.

Prima kemudian meluruhkan badannya. Ia memeluk lututnya. Menangis sejadi-jadinya. Ia berusaha agar tak menangis namun tetap saja rasa sakit itu tak bisa ia tahan dari hatinya. Sakit dan sesak bercampur menjadi satu. Tak ada yang peduli pada dirinya, termasuk sang kakak yang menganggap dirinya hina.

"Panji," cicit Prima tanpa sadar menyebut nama yang tak seharusnya.

#TBC

Give me VOTMENT PLEASE 💜

Gimana part kali ini guys?

Jangan lupa untuk follow akun wattpad shtysetyongrm dan Instagram shtysetyongrm 😍

Milenial VS Old Style (Completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang