|Part 21| Rembulan Yang Bersuara

790 182 42
                                    

Aku tertarik padanya
Melihatnya tersenyum
Kesederhanaannya
Menimbulkan setitik rasa di dalam jiwa.

"Stop! Tiba-tiba Prima berteriak sembari memukul-mukul bahu Panji yang sibuk mengemudikan motornya untuk sampai di tempat sahabatnya, membuat pria itu kemudian menghentikan motornya.

"Apa, sih? Rumah Farel bentar lagi sampai," sahut Panji yang sangat kesal kala Prima memukul bahunya sembarangan.

Prima tak menjawab. Remaja itu justru turun dan menunjuk ke salah satu pedang kaki lima yang rupanya terus mencari uang di trotoar jalan ibu kota. Memang sebelum kompleks elit, di sepanjang jalan banyak sekali kita temui pedagang kaki lima yang berjualan untuk menghidupi keluarganya.

"Ayo kita makan jagung bakar," ucap Prima sembari menunjuk salah satu pedang kaki lima yang hanya menjual jagung bakar saja.

Panji menoleh tepat pada seorang bapak-bapak tua dengan pembakaran arang di hadapannya, juga jagung yang berjejer rapi tanpa kulitnya. Ia merasa makanan itu tak sehat untuk di konsumsi. Panji hanya bisa menggeleng saja. Namun tanpa ia sangka-sangka kala ia memusatkan perhatiannya lagi, remaja wanita itu sudah tak lagi ada di tempatnya. Panji turun dari motornya. Matanya berusaha untuk mencari, dan ternyata remaja wanita itu sudah ada di pedagang jagung itu sembari melambaikan tangan memberi simbol agar dirinya ke sana.

"Anjir emang!" seru Panji yang mau tak mau harus memarkirkan motornya dan berjalan kaki menemui Prima yang tengah duduk di bangku kayu kecil milik pedagang itu.

"Ngapain, sih?"

"Kamu udah aku pesankan. Tinggal makan dan duduk aja." Prima kemudian menggeser tubuhnya. Ia menepuk-nepuk kursi kayu itu yang mengisahkan sedikit ruang untuknya. "Sini duduk. Gak capek berdiri terus?"

Lagi-lagi Panji hanya menghela napas kasarnya. Pria tampan itu duduk di samping Prima yang melihat bagaimana cara pedagang itu membakar jagungnya. Prima kemudian tersenyum dan menoleh pada Panji yang sibuk memainkan ponselnya. Baginya tak apa, entah mengapa secara tiba-tiba ia meneteskan air matanya. Bukan hanya sekali, namun berulang kali. Prima berusaha untuk menghalaunya namun tetap saja tak bisa. Melihat bagaimana cara pedagang itu berjualan membuat ia teringat dengan kenangan indah bersama ibunya. Dulu kala tinggal di desa, ia dan ibunya sering sekali ke alun-alun kota untuk sekedar membeli jagung bakar dan makan bersama sembari menikmati pemandangan malam yang menurut mereka indah. Namun kenangan hanyalah kenangan yang bisa di kena, namun sulit untuk di ulang.

"Ngapain nangis?" Panji tentu saja terkejut, ketika ia tak sengaja melihat remaja wanita yang ia ketahui bernama Prima menangis sembari menatap langit yang indah.

Mendengar itu Prima menoleh. Matanya memerah, air mata itu terus keluar dari matanya, namun senyuman indah tetap ada di bibirnya. "Aku inget ibu aja."

Panji mengerutkan keningnya. "Bukannya ibu lo kerja di tempat Farel?"

Prima tampak mengeleng lemah. Wanita itu kemudian menundukkan kepalanya dan menghapus jejak air matanya.

"Kamu gak perlu tahu," balas Prima kemudian pergi menuju pedagang itu untuk mengambil dua buah jagung yang sudah ia pesan, sementara Panji terdiam di tempatnya dengan berbagai macam pertanyaan yang bersarang.

Pendengarannya masih berfungsi sempurna. Matanya juga melihat bagaimana Prima terbendung dengan air mata yang terus menetes di pipinya. Gelengan kepala yang di keluarkan membuat ia tak percaya. Kala itu Farel berkata bahwa Prima adalah anak pembantunya, namun ketika ia bertanya Prima juga justru seolah menyangkal bahwa ibunya tak bekerja di sana. Bukan bermaksud ingin ikut campur, namun melihat Prima yang menangis membuat setitik rasa di hatinya ikut merasakan apa yang di rasakan. Seolah tahu, tapi padahal ia hanya orang yang tak tahu apa-apa.

Milenial VS Old Style (Completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang