|Part 59| Dipatahkan

723 142 18
                                    

Sungguh, aku tidak pernah dendam pada situasi atau pun orang yang menekankan. Aku hanya berharap bahwa suatu saat nanti mereka menyadari bahwa ada luka yang ditimbulkan di dasar hati.

Dendam itu hanya akan melukai hati. Sesakit apa pun yang kita rasakan saat ini, harusnya dendam tak ambil adil di sini. Sesak dan sakit itu sudah biasa dalam hidupnya kini. Tak bisa di elak namun hanya bisa di rasakan sangat sakit di hati. Berulangkali harus menerima sebuah takdir, namun takdir lain justru membuat dirinya sakit. Bolehkah ia lelah dalam situasi ini? Lelah pada keadaan yang membuat dirinya selalu terluka dalam ruang yang tak berarti.

Kondisi Prima yang sudah stabil membuat mereka kembali dari rumah sakit. Mereka melewati ini semua secara berdua. Prima yang senantiasa menjaga dan mendorong kursi roda milik Panji dan dirinya sendiri yang berusaha untuk tak melakukan kesalahan lagi. Saat ini mereka tengah berada di sebuah pintu apartment yang tertutup rapat. Lorong yang biasanya penuh penjagaan kini terlihat sepi dan tak ada orang. Berulang kali ia mencoba untuk memasukan password namun tak satu pun yang bisa membuka pintu kamarnya ini.

"Kok gak bisa, ya?" tanya Panji pada Prima yang kemudian berjongkok dan mengambil kartunya.

"Aku coba, ya," tutur Prima.

Panji pun hanya mengangguk saja. "2314 kan, ya?"

"Iya, gimana bisa gak?" tanya Panji membuat gelengan terlihat jelas di wajah Prima. Prima kemudian membalikan kembali id card itu. Ia kemudian menatap Panji yang tampak menghubungi nomor yang ada di salah satu ponselnya.

"Halo. Ada apa den?"

"Pintu apartment gue kok gak bisa di buka?"

"Maaf, ini perintah ibu. Apartemen sudah di ambil akses oleh kedua orang tua den Panji. Biar saya jemput sekarang."

"Anjing! Gak usah."

Tut.

Panji kemudian mematikan ponselnya. Ia sempat mengumpat karena merasa kesal dengan keputusan yang secara tiba-tiba di berikan oleh kedua orang tuanya. Selalu saja secara sepihak dan tak memedulikan dirinya yang juga memiliki rasa. Jujur ia tak mau berada di rumah. Dengan adanya ia di rumah, ia hanya akan merasakan sakit jika bersama keluarganya.

"Kenapa?" tanya Prima yang mendengar kekasihnya itu mengumpat.

"Maaf aku ngerepotin kamu. Apartment ku di ambil alih sama mama. Aku harus pulang ke rumah. Aku antar kamu pulang, ya?" Panji menatap Prima dengan rasa bersalah.

Prima pun tersenyum. "Enggak usah. Aku udah baikan, kok. Aku bisa minta jemput Kak Farel. Aku antar kamu pulang biar aman, ya."

Prima kemudian mendorong kursi roda Panji memasuki lift yang sudah terbuka. Ia kemudian memilih lantai bawah untuk mengantar Panji pulang ke rumahnya. Ia kemudian memesan taksi dan membawa Panji pulang. Ia juga tak menyangka, bahwa Panji juga merasakan apa yang ia rasa. Keluarganya tampak harmonis, namun bagi anak yang merasakan itu tak ada kata bahagia yang ada hanya luka karena di beda-beda kan dan tak pernah di anggap.

Panji pun terus menggegam tangan Prima selama di dalam taksi. Ia bersyukur mempunyai Prima yang selalu ada untuknya, walau ia pernah menyakiti dirinya. Mereka hanya terdiam dan tak ada satu pun yang berbicara. Hanya butuh waktu 30 menit sampai pada akhirnya taksi ini memasuki halaman rumah megah dan setelah terhenti Prima keluar lebih dulu mengambil kursi roda dan membantu Panji duduk di kursinya.

Milenial VS Old Style (Completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang