Beberapa dari kita hanya melihat tanggapan satu orang, tanpa mendengarkan penjelasan.
"Kamu itu buat mama malu. Mama nyesel bawa kamu ke mall." Rina yang baru saja tiba di rumah langsung mengeluarkan keluh kesahnya ketika ia membawa anak perempuan tirinya.
Sementara Prima yang berdiri di belakangnya hanya bisa diam. Tak tahu lagi harus berbuat apa. Ia tak boleh melawan bukan? Maka dari itu ia memilih untuk diam. Omelan terus ia dapatkan, walau hatinya sakit tak karuan ia mencoba untuk tenang dan tak mendengarkan.
"Kamu dengar mama gak?" tanya Rina pada Prima yang justru ingin melewatinya namun segera terhenti karena ucapan Rina. "Berani kamu melangkah satu lagi, mama bakal lebih marah dari ini!"
Prima yang mendengar itu menghentikan langkahnya. Membalikkan tubuhnya tepat di depan wanita yang selalu salah menilai dirinya. Ia di depan wanita ini hanya manusia yang banyak melakukan kesalahan dan terus di salahkan. Tak ada satu pun pujian yang ia dapatkan. Yang ada hanyalah hinaan dan cacian.
"Terus Prima harus gimana ma? Prima capek dengerin mama yang ngoceh terus. Prima juga punya telinga untuk dengar mama marah. Prima tahu mama marah, makanya Prima diam. Masih salah?" tanya Prima malas.
"Masih, kamu bilang? Kamu pikir saya bakal diam aja? Ketika kamu mempermalukan saya? Begitu!" pekik Rina dengan suara tingginya membuat Prima memejamkan matanya.
"Ada apa, sih? Saya pulang kerja kok ribut," tutur seorang pria dari belakang.
Mereka berdua memusatkan perhatiannya pada Baskoro yang baru saja pulang kerja. Rina pun menghampiri suaminya dan langsung membawakan tas kerja milik suaminya. Rina kemudian menggandeng tangan suaminya dan berdiri tepat di samping Prima yang terus memperhatikan mereka. Prima hanya bisa diam dan diam walau ia ingin memberitahu semuanya. Memberi tahu bahwa ibu tirinya ini terus membuat dirinya bersalah dan tak boleh berpendapat karena surat perjanjian yang ia buat. Jika tak terikat dengan kontrak mungkin ia tak akan mau melakukan hal yang memang tak ia suka.
"Ada apa nak? Kenapa wajahnya begitu?" tanya Baskoro ketika melihat Prima yang terus menatapnya.
"Anak kamu ini sudah di atur. Saya belikan baju malah nolak terus. Katanya gak sesuai sama dia." Rina kemudian menatap ekspresi suaminya yang berubah. "Dia buat aku malu. Masa dia ngelempar daging ke pengunjung restauran. Ketahuan banget kalau dia anak kampung, mas. Aku malu ajak dia keluar."
"Apa benar begitu?" tanya Baskoro pada Prima yang menggelengkan kepalanya.
"Enggak pa. Aku gak sengaja melakukan itu semua. Prima memang anak kampung, tapi dari awal Prima bilang kalau Prima memang gak bisa makan." Prima mencoba untuk mengelak, namun apa yang Prima katakan tak akan memberikan efek apa pun pada Baskoro yang justru memberikan ia sebuah hal yang tak pernah ia duga sebelumnya.
"Mulai saat ini, papa akan sewa orang untuk buat kamu berubah. Hilangkan gaya kampung kamu. Ini di kota, bukan di desa tempat Ibu kamu. Paham kamu?" tanya Baskoro tanpa sadar telah menyakiti hati Prima.
Benar dugaannya bukan? Rasa senang di awal adalah awal kehancuran kebahagiaan yang ia harapkan. Situasi seperti ini seolah asing dan tak pernah ia harapkan terjadi sebelum benar-benar kemari. Ia berharap suatu saat ketika bertemu sang bapak tetap sama, menjadi seorang pria yang selalu ia ceritakan ke teman-temannya karena sosok baik dan pengertian terhadap dirinya. Namun sekarang apa? Bahkan sebuah pertanyaan terus timbul dalam benaknya. Tentang semua perubahan yang ia dapatkan dan semua hinaan yang tak ada pembelaan.
Jika ditanya ia siapa? Ia adalah anak sah dari pria ini, namun sekarang ia seolah asing dan tak di anggap ada olehnya. Bahkan sang bapak lebih percaya pada ibu tirinya dari pada anaknya sendiri. Tak tahu harus berbuat apa, Prima lebih memilih pergi dan meninggalkan Baskoro yang terus memanggil namanya. Ketika ia lari dan menemukan Farel yang juga ingin berpapasan dengan dirinya, Prima buru-buru masuk ke kamar dan menutup pintu kamarnya.
"Ya, Allah," lirih Prima sembari meluruhkan badannya ke bawah. Tak kuasa menahan segala beban dan kondisi asing yang sedang menerpa dirinya.
"Prim," panggil Farel sembari mengetuk pintu kamar adiknya.
Prima diam. Tangan wanita itu justru membekap mulutnya sendiri agar tangisannya tak keluar. Ia berusaha untuk menenangkan diri, namun yang ada hanyalah tangisan yang tak bisa ia pendam sendiri.
"Prima kakak mau bicara," tutur Farel kembali mengetuk pintu kamar adiknya.
Prima berusaha untuk menarik napasnya. Mencoba mengatur suaranya agar terlihat baik-baik saja. Padahal saat ini luka tengah menyerang dirinya dengan berbagai busur panah.
"Aku mau tidur," ucap Prima sembari meneteskan air matanya.
"Oke. Kalau gitu besok aja." Farel kemudian pergi dan meninggalkan kamar adiknya.
Pria ini kemudian berjalan masuk ke kamar yang letaknya tak jauh dari kamar Prima. Sudah sangat jelas ia melihat bahwa adiknya sedang menangis di kamar. Ada apa? Setelah kedatangannya kemari, ia rasa ada perubahan di rumahnya.
***
Embun terlihat jelas di daun rumah. Setetes air berjatuhan di taman rumahnya. Mentari sudah mulai terbit di sana. Suara burung yang berkicau ria membuat seseorang yang sedang menyanyikan lagu lama menatap dirinya dari pantulan cermin besar di hadapannya. Berulang kali ia mengamati penampilannya yang mengenakan seragam sekolah baru di Jakarta.
"Pendek banget," ujar Prima ketika melihat rok yang ia gunakan di atas lututnya.
Seragam sekolah ini sangat tak cocok ia gunakan. Jika di kampung seragamnya akan menutupi semua jenjang kakinya, saat ini rok yang ia kenakan justru di atas lututnya. Merasa tak nyaman, prima mengambil celana panjang. Memakainya untuk melapisi rok dan kaki jenjangnya agar tak terlihat oleh banyak orang. Prima yang merasa sudah siap pun turun ke bawah. Hari ini adalah hari pertama ia kembali ke sekolah. Ya, walau ia sudah kelas 2 tapi tetap saja ini baru untuk dirinya. Matanya melihat di mana semua keluarganya sudah ada di meja makan, menatapnya yang baru datang dan duduk di samping Farel yang cuek akan dirinya.
"Astaga," ucap Rina melihat penampilan tak terduga dari anak tiri yang satunya.
"Kenapa, ma?" tanya Prima yang akan meraih nasi goreng di hadapannya.
"Kamu apa-apaan? Udah pakai rok pendek, dalamannya panjang. Kamu mau malu-maluin mama?"
Prima kemudian berdiri. Ia menatap penampilannya. Tak ada yang aneh bagi dirinya. Apa yang salah? Bahkan ia tak merasakan apa-apa. Ia kemudian mencolek bahu kakaknya, membuat Farel menatapnya.
"Aku aneh?" tanya Prima membuat Farel menatapnya.
Farel yang melihat penampilan adiknya akan menimbulkan masalah segera bangun. Tatapan matanya terarah pada celana panjang yang digunakan adiknya untuk menutupi kakinya. Farel menunduk dan segera melepaskan celana panjang itu, membuat Prima yang melihatnya hanya pasrah. Bahkan ketika Farel membuangnya begitu saja. Kaki jenjang putih milik prima pun terlihat membuat wanita ini tak nyaman. Ia tahu Prima tak nyaman, tapi ini yang bisa ia lakukan untuk menyelamatkan prima.
"Jangan kampungan."
#TBC
Give me VOTMENT PLEASE 💜
Jangan lupa tinggalkan jejak kalian setelah membaca!
Aku sayang kalian yang mau komen:v
KAMU SEDANG MEMBACA
Milenial VS Old Style (Completed)
Fanfiction#Rank 2 Gaul (3 Maret 2021) #Rank 3 Milenial (3 Maret 2021) #Rank 2 Gaul (25 Maret 2021) #Rank 2 Milenial (26 Maret 2021) #Rank 3 Literasi (14 Mei 2021) #Rank 1 Gaul ( 19 Mei 2021) #Rank 2 School (20 Mei 2021) "Lo hidup di generasi muda sekara...