|Part 37| Realitas atau Ekspetasi?

811 163 52
                                    

Dari pada mendengarkan seseorang mengatakan semuanya akan baik-baik saja, cobalah untuk melihat bahwa ada seseorang yang mengalami hal sama seperti apa yang kita rasa.

Kaki mungil itu terus berlari mengabaikan teriakan orang yang terus menerus untuk memintanya berhenti. Tak ada yang bisa ia lakukan lagi selain pergi dari rumah megah ini. Tak ada lagi yang bisa ia pertahankan karena luka yang tak lagi bisa di hadapi. Dengan derai air mata yang terus menetes, Prima berusaha untuk berlari menuju gerbang rumah yang akan ia buka. Prima membuka gerbang rumah dengan tidak sabaran, walau satpam berusaha untuk mencegah, nyatanya kekuatan emosi Prima mampu membuat satpam itu tak bisa menghentikan Prima. Suara gebang yang tertutup dengan keras membuat satpam itu tak bisa berbuat apa-apa.

"Prima!" teriak seorang pria paruh baya yang melihat anaknya pergi dari rumahnya. Baskoro kemudian menatap satpam itu karena merasa bodoh karena membiarkan anaknya pergi.

"Cari dia!" Perintah Baskoro membuat Satpam itu segera meraih sepeda motornya dan pergi untuk mengejar Prima yang terus berlari menyusuri jalanan yang sepi karena malam hari.

Sorot lampu yang terus mengarah ke arah dirinya membuat Prima sempat menoleh dan menemukan bahwa satpam rumahnya berusaha untuk mengejar dirinya. Prima yang memang pandai berlari terus berlari kencang tak peduli dengan teriakan yang terus di lontarkan untuk membuat dirinya berhenti. Kali ini tekadnya sudah bulat. Ia tak mau kembali lagi. Ia ingin pergi meninggalkan semuanya termasuk hidupnya sendiri. Buat apa hidup? Jika hanya luka yang ia dapatkan terus menerus dalam hidupnya.

Sesekali ia menarik napasnya. Rasa sesak itu bercampur menjadi satu kesatuan yang seolah tak bisa dipisahkan lagi. Air matanya terus jatuh seiring bertambahnya kecepatan ia berlari. Di ujung jalan, ia menoleh ke sana dan kemari nyatanya tak ada satu pun kendaraan yang lewat di malam hari. Prima kemudian menoleh ke arah belakang melihat sepeda motor yang akan mendekati dirinya membuat Prima yang takut akan tertangkap segera menyebrang jalan tak sabaran untuk menghindari satpam rumah yang mengejar dirinya.

"Non Prima awas!" teriak Satpam itu kala ia melihat sebuah motor sport melaju dengan kencang kala Prima menyebrang jalan.

Prima kemudian menoleh. Tepat ketika sebuah sinar yang menyilaukan mata berada tak jauh darinya. Motor yang melaju dengan cepat membuat Prima seolah hanya bisa diam di tengah jalan. Ia sudah pasrah akan semuanya. Yang bisa ia lakukan hanya menutup mata.

"Bismillahirrahmanirrahim," ucap Prima sudah putus asa akan hidupnya. Bukan teriakan yang ia keluarkan, melainkan hanya kepasrahan jika ia tak lagi hidup mulai sekarang.

Cit ...

Suara ban yang beradu dengan aspal membuat motor itu tampak mengerem mendadak. Pengemudi motor itu berhasil menghentikan motornya tepat di hadapan wanita yang sedang menutup mata. Pria itu tampak kesal. Apa wanita ini gila? Ingin meninggal namun mengorbankan dirinya juga. Pria itu kemudian turun dari motornya tanpa mematikan mesinnya. Ia kemudian berjalan mendekati wanita itu.

"Lo gak ada otak? Atau bego?" tanya Panji dengan nada meninggi.

Pria itu adalah Panji. Pria yang melarikan diri karena luka yang tak bisa di obati lagi. Laki-laki yang juga sedang menahan kekesalan juga sesak di hatinya karena perbedaan yang terus ia dapatkan. Di tambah insiden seperti ini tentu saja membuat ia kesal. Prima yang mendengar suara itu tak asing langsung melepaskan tangannya. Ia yang melihat Panji di hadapannya langsung memeluk pria itu yang sama-sama terkejut karena Prima yang ingin ia tabrak tadi. Pelukan yang cukup erat dengan Isakan yang dikeluarkan membuat ia bingung dengan apa yang terjadi. Yang bisa ia lakukan hanya diam tanpa membalas. Ia masih kesal dengan sikap Prima yang lebih memilih Ramdan dari pada dirinya.

Milenial VS Old Style (Completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang