|Part 12| Aku Hanya Debu

853 190 28
                                    

Apa hal yang menyakitkan di dunia ini?
Tak di anggap oleh keluarga sendiri.

Prima yang masih syok di ajak untuk duduk bersama mereka di sebuah cafe. Prima sendiri hanya menggunakan daster desa yang selalu ia pakai di desa ketika ia tinggal di sana. Banyak pengunjung cafe yang memperhatikan penampilannya, tapi ia tak peduli akan itu semua. Ia hanya bisa menunduk dan merasa takut segala kemungkinan akan terjadi.

"Lagian kenapa lo pakai daster, sih? Pasang badan banget," tanya Al gemas melihat pakaian wanita yang ada di hadapannya.

Prima hanya bisa terdiam. Ia seolah tak sanggup untuk mengatakan apapun. Yang ia rasakan hanya takut dan memikirkan apa yang akan terjadi, bila tak ada pria ini yang membantu dirinya tadi. Tak terasa Prima kembali meneteskan air matanya. Mencoba untuk bertahan dalam rasa takut, tak bisa membuat ia baik-baik saja. Melihat itu Panji yang berada di hadapannya segera membuka Hoodie dan memberikan Hoodie itu pada Prima yang kemudian menatapnya dengan air mata.

"Pakai, bahaya," ucap Panji dengan sorot mata tajam.

Prima kemudian melihat sang kakak yang hanya diam saja. Walau ragu, akhirnya ia menerima Hoodie itu dan memakainya. "Makasih."

Panji tak menjawab. Pria itu justru sibuk dengan rokok yang ada di tangannya. Asap yang mengudara membuat Prima menutup hidungnya. Semua pria yang ada di sini merokok semua, kecuali kakaknya. Tatapan Farel begitu tajam menatap dirinya yang hanya bisa menatapnya.

"Rel, anterin pulang. Gak sanggup gue ngeliat cewek kampung di sini," ucap Kano membuat Prima langsung menatapnya.

Lagi-lagi kalimat itu ia dengar dari orang Jakarta. Tak bisakah tidak usah memperjelas kampung di hadapannya? Sebenernya ada apa dengan pakaiannya? Ia sudah sopan namun tetap saja hanya hinaan yang ia terima. Bahkan sang kakak sendiri tak menganggap dirinya ada di sini.

"Dia siapa lo, sih? Keliatan banget waktu dia peluk lo, bahkan gak ada tolakan dari lo sendiri. Padahal lo risih kalau ada cewek yang gerepek lo gitu," tanya Dani yang terus menatap gerak gerik Farel yang seolah dekat dengan wanita yang ada di hadapannya saat ini.

Farel yang sibuk memainkan ponselnya mengalihkan pandangannya. Ia kemudian menatap Prima dan teman-temannya. Jujur ia bingung harus bagaimana. Ia tahu sahabatnya seperti apa, jika di beri tahu yang sebenarnya, maka reputasinya akan hancur di sekolah. Bagaimana bisa? Most wanted tampan seperti dirinya mempunyai adik kampungan seperti Prima? Ia kemudian menaruh ponselnya. Ia menyangga dagunya dan menatap keempat sahabatnya yang menunggu dirinya.

"Anak pembantu gue."

Prima langsung mematung di tempatnya. Tatapan matanya seperti poros yang secara perlahan menatap sang kakak yang bahkan tenang mengatakan itu semua. Di mana hati nurani kakaknya? Hingga tega mengatakan itu di keempat sahabatnya seperti ini. Padahal ia adalah adik kandungnya, bukan anak pembantunya.

"Pantesan. Cantik, sih, tapi kampungan. Gak cocok duduk di sini sebenarnya," sahut Kano yang terkenal dengan wajah galak dan omongan pedasnya.

"Iya, emang gayanya kampung," sahut Farel membuat Prima kembali menatapnya.

"Tapi gak mungkin. Gue lihat dia di jemput sama sopir pribadinya," balas Panji saat melihat Prima menaiki mobil mewah. Sangat jauh dari jawaban Farel yang tak lain adalah sahabatnya. Matanya masih berfungsi sempurna kala ia tak sengaja melihat wanita ini di jemput oleh mobil mewah yang mengantar nya. Baginya ini tak masuk akal.

"Serius? Widih." Tatapan Al kemudian menatap Prima yang hanya bisa terdiam. "Lo anak sultan? Atau anak pelayan?"

Prima yang mendengar itu hanya bisa menatapnya. Sakit? Sudah jelas ia rasa. Tak ia sangka ketika ia pindah ke Jakarta kehidupan bahagia hanya karena harta, bukan tentang kasih sayang yang ada. Ia rindu kehidupannya dulu? Tentu saja. Kehidupan sederhana namun bahagia. Tak apa tak punya harta, tapi kasih sayang dari ibunya masih ada untuknya. Menjaga dan menyayangi dirinya. Bukan merendahkan dirinya karena malu dengan sikap dan pakaiannya.

"Aku anak manusia," balas Prima percaya diri membuat Al tertawa.

"Anjir. Udah pakai baju gak bener. Kosa kata lama, astaga hidup di zaman apa lo? Ini generasi milenial. Pakai lo atau gue, lah ini aku kamu. Kaya pacaran, ya, Bun," balas Al membuat Prima berdiri dan menatap keempat pria sembari menatap kakaknya.

Tatapan Panji terus terarah pada Prima. Ia rasa wanita ini sedih dan menahan semuanya. Ia kira wanita ini berani, namun tetap saja ia hanya wanita yang membutuhkan perlindungan seorang Pria. Melihatnya yang berdiri membuat ia terus menatapnya. Tak berhenti untuk mengalihkan pandangannya.

"Makasih udah bantu. Maaf aku duluan," ujar Prima kemudian meninggalkan cafe itu sembari berjalan kaki, membuat Farel yang ada di situ langsung berdiri dan menaiki kendaraan motor nya tanpa peduli dengan tatapan sahabatnya yang bertanya-tanya.

"Gue rasa ada yang gak beres," lirih Panji sembari menatap kepergian Farel untuk menyusul adiknya.

Prima berlari kecil meninggalkan cafe yang membuat hatinya sakit tak terduga. Kenapa semua perkataan itu membuat hatinya sakit? Bukan perkataan mereka, tapi perkataan kakaknya yang tak menganggap dirinya ada. Ia hanya di anggap sebagai anak pembantu saja bukan adiknya. Prima terus berlari, walau rasa lapar menguasai dirinya. Ia menerobos gelapnya malam dengan hati yang terluka parah. Tiba-tiba sebuah motor menghadang langkah kakinya, membuat ia berhenti sejenak, namun ketika melihat sang kakak yang menghampiri dirinya membuat ia meneruskan langkahnya. Farel yang melihat itu terus mengikuti adiknya.

"Naik cepet."

"Gak mau."

Prima terus melanjutkan aksinya tanpa mengindahkan perkataan Farel yang menyuruh dirinya untuk naik ke atas motor besarnya.

"Naik. Jangan buat gue marah."

Prima menghentikan langkahnya. Ia kemudian menatap sang kakak yang juga menatapnya. Ia tanpa basa-basi naik ke atas motor sang kakak dan diam tanpa suara. Membuat Farel segera melajukan motornya meninggalkan jalan untuk menuju rumah mewahnya.

Hanya angin yang seolah menyapa mereka yang terdiam dan tak bisa berkata-kata. Prima berusaha untuk menahan air matanya karena rasa sakit yang ia terima di hatinya. Hembusan angin yang ada membuat ia memejamkan matanya, berusaha untuk meredam rasa sakit yang ada. Ia tahu kakaknya tak sengaja, tapi tetap saja ia sakit karena perkataannya. Ia hanya bisa diam dan diam. Berusaha untuk menenangkan pikirannya dan menenangkan hati kecilnya yang terluka parah.

#TBC

Give me VOTMENT PLEASE 💜

Jangan lupa untuk follow akun wattpad shtysetyongrm dan Instagram shtysetyongrm 😍

Lanjut gak guys? Kuy lah berikan komen biar aku semangat.

Cus lah yuk.

Milenial VS Old Style (Completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang