|Part 61| Tragedi

625 133 55
                                    

Menyerah? Bukan pilihan untuk hidup yang sempurna
Berjuang dan melewati semuanya adalah kunci kehidupan yang bahagia.

Kala ia sedang merasakan arti bahagia, ada saja sosok yang membuat ia kembali harus merasakan luka. Berulang kali jatuh dan tak di anggap kehadirannya, yang bisa ia lakukan hanya tersenyum dan mengatakan bahwa ia baik-baik saja. Luka yang ada di dasar hati terlalu banyak untuk di toleransi, terlalu sesak untuk diingat dalam diri. Hanya bisa di kenang dan tersenyum walau hidupnya hancur berantakan saat ini.

Langkah kaki itu terhenti kala matanya tanpa sengaja menatap dua orang yang sekarang paling tak ia sukai kehadirannya. Dua orang yang menatapnya penuh ambisius dan amarah kini sudah ada di hadapannya. Ia mengepalkan tangannya, jika ia berada di tempat yang benar maka ia akan memilih menjauh dan berlari sejauh mungkin sampai kedua orang tuanya menyadari apa kesalahannya. Prima yang merasa ini bukan kawasannya hanya bisa melangkahkan kaki tanpa menganggap kehadiran mereka yang sudah menunggu di gerbang rumah Panji.

"Satu langkah lagi kamu lakukan, maka papa akan pulangkan kamu ke kampung," ujar Baskoro pada Prima yang kemudian menghentikan langkahnya.

Tatapan Prima menatap sang bapak yang tak pernah ia sangka mempunyai niat untuk mengatakan itu pada dirinya. Selama ini ia di sini apa kehadirannya tak pernah di anggap ada? Bahkan melihat wanita paruh baya itu membuat ia muak untuk mengatakan semuanya.

"Ayo nak, kita pulang," ajak Rina pada Prima yang lagi-lagi tak menyangka bahwa wanita paruh baya ini bisa bertransformasi begitu hebatnya.

"Duluan, gue bisa pulang sendiri," balas Prima membuat Baskoro menarik tangannya dan membawa anaknya itu masuk ke dalam mobil dengan paksa.

"Sudah cukup Prima! Jangan jadi gadis yang tak suka di atur oleh orang tua! Papa gak suka dengan sikap kamu yang seperti ini!" sentak Baskoro sembari menutup pintu mobil, membuat Prima terkurung dalam lingkup yang tak pernah ia inginkan sebelumnya. "Jalan pak!"

Telat sudah. Tak ada lagi harapan untuk ia kabur dari posisinya. Mobil yang sudah berjalan di tambah lagi keberadaan dirinya yang ada di tengah-tengah mereka membuat ia tak bisa berkutik lagi. Yang bisa ia lakukan hanya tegar dan berusaha untuk tak mendengarkan semuanya. Ia terus menatap jalan untuk mengalihkan hatinya yang sebenernya lemah tak berdaya. Berulang kali ia mendapatkan luka yang basah padahal luka kering di hatinya belum sembuh juga.

Rina yang melihat ada kesempatan di sampingnya membuat tangan kanannya mengelus lembut rambut sang anak yang tak pernah ia harapkan kehadirannya. Elusan itu membuat Prima menatap dirinya dengan tatapan yang ia yakini tak suka.

"Maafkan mama. Mama gak pernah hasut papa kamu untuk bersikap seperti ini. Mama hanya ingin sesuatu yang terbaik untuk kamu," ucap Rina dengan tatapan penuh kasih sayang yang palsu.

"Jangan sok baik. Di depan bapak aja baik, giliran cuman berdua Prima seakan-akan hanya sampah buat mama," balas Prima sembari menyentak tangan Rina yang mengelus rambutnya.

"Kenapa kamu jadi liar seperti ini?" tanya Baskoro pada anaknya.

Prima yang mendengar itu pun tertawa kecil. Ia menatap angkuh Rina yang ia yakini sedang menatap dirinya penuh amarah di balik wajah lembutnya.

"Bukannya ini yang kalian mau? Prima jangan jadi kampungan! Kamu mempermalukan keluarga kita." Prima memperagakan kata-kata yang pernah Rina katakan dulu pada dirinya. "Sekarang, giliran udah jadi benaran di larang. Maunya apa? Papa tahu perasaan Prima saat ini gimana? Semenjak kedatangan Prima, papa baik dan lembut. Tapi sekarang kenapa papa kaya gini? Prima kangen papa yang dulu. Sekali aja papa percaya sama Prima."

Milenial VS Old Style (Completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang