|Part 36| Luka Di Malam Hari

748 158 44
                                    

Mereka yang tak berpendirian adalah mereka yang tidak jujur dengan dirinya sendiri. Sakit namun tak mau jujur, menolak namun tak bisa mengucapkan. Pada dasarnya harus menerima itulah yang dilakukan.

Tok .... Tok ....

Suara ketukan pintu yang tak sabaran membuat Prima hanya diam. Baginya tempat ternyaman untuk meluapkan apa yang ia rasakan adalah dengan diamnya ia di kamar. Tak ada lagi yang bisa ia lakukan selain diam dan menangis sendirian. Kepada siapa ia ingin mencurahkan? Bahkan dalam satu rumah megah pun tak ada yang bisa memahami dirinya sekarang. Sepulang sekolah yang bisa ia lakukan hanyalah diam dan tak memakan apa pun.

Merasa tak ada respon orang tersebut segera membuka dengan kunci cadangan. Wanita paruh baya yang sedang menatap tajam tak ia hiraukan. Ia justru sibuk memperhatikan kondisi di malam hari. Pintu itu kembali tertutup. Tanpa di sangka-sangka wanita paruh baya itu segera menjambak rambut Prima yang tergerai indah membuat remaja itu meringis kesakitan di buatnya.

"Bagus! Saya panggil tak menjawab. Kamu pikir, kamu siapa?" Rina bertanya dengan nada tinggi. Wanita itu tampak kesal pada anak tirinya yang berusaha untuk melawan dirinya.

"Lepas, ma!" teriak Prima menggema dengan suara menantang.

Rina justru semakin menjambak Prima. Bukan hanya itu saja, Rina menarik rambut Prima agar gadis remaja ini berdiri di hadapannya. Sementara Prima yang mendapatkan hal itu mengepalkan tangannya. Walau teramat sakit, ia tak bisa melawan sang mama. Ia sudah biasa mendapatkan hal seperti ini. Melawan? Tentu saja ingin, namun ia memikirkan kondisi sang kakak yang akan hancur jika ia melawan kuasa sang mama.

"Kamu harus latihan! Saya sewa pelatih mahal-mahal buat gadis kampung kaya kamu, tapi kamu gak menghargai usaha saya!" sentak Rina kemudian melepaskan jambakan itu. Rina menghela napas panjang sembari menatap tajam Prima yang juga menatapnya dengan rasa tak suka.

"Prima gak mau," ujar Prima sembari mengepalkan tangannya.

"Apa kamu bilang?" tanya Rina untuk memastikan.

"Prima gak mau," sahut Prima dengan nada meninggi. Ia sudah muak dengan segala perintah yang harus ia lakukan. Semua perintah yang tak pernah ia ingin lakukan. Baginya perintah itu hanya menguntungkan bagi sang mama tiri, tapi tidak dengan dirinya yang terlalu tersakiti. Cukup sudah ia menerima, tapi kali ini ia hilang kesabaran. Ia hilang kesabaran.

Plak!

Tamparan begitu kuat harus Prima rasakan. Bahkan tubuh mungil itu sempat mundur beberapa langkah akibat tamparan keras yang diberikan oleh Rina. Selalu saja begini. Setiap ia menentang perintah maka kekerasan yang akan ia dapatkan. Dari ujung kepalanya hingga kaki semuanya tersakiti jika sudah berhadapan dengan wanita paruh baya yang tak punya hati ini. Bukankah keinginan seseorang tak bisa di paksakan? Ia tak mau mengikuti semua yang di perintahkan. Ia tak mau melakukan hal-hal yang membuang waktunya belajar. Ia sudah cukup sabar menghadapi sesuatu yang tak pernah bisa ia bongkar, namun kali ini ia habis kesabaran.

"Ikut saya," ucap Rina sembari mencengkeram tangan Prima kuat untuk tetap menghadiri pelatihan itu.

"Gak mau," tolak Prima sembari tetap pada pendiriannya. Prima berusaha untuk melepaskan cengkraman tangan yang begitu kuat. Namun hanya nihil yang ia dapatkan. Nyatanya ia tak bisa menolak walau di sini ia yang tersakiti.

"Ma! Prima gak mau!" teriak Prima dengan sekuat tenaga berusaha untuk melepaskan cengkraman tangan itu. Suaranya yang menggema di lorong kamarnya membuat satu penghuni keluar dari kamarnya.

Milenial VS Old Style (Completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang