• Baca Aja, Yuk! •

1.1K 67 0
                                    

Berita mengejutkan bagi Airin, Rendy, Clarissa, dan Arkano menghampiri. Pagi ini, mereka mendapat kabar yang sangat tak disangka. Sahabat mereka yang bernama Aksa Argasatya, memutuskan untuk pindah dari SMA Pelita Harapan. Keempatnya serempak menatap Aksa penuh tanya.

"Kenapa tiba-tiba gini? Baru selesai ujian, lho," kata Arkano meminta penjelasan.

Laki-laki yang ditanya, tak lain adalah Aksa tersenyum tipis. Namun, dalam sorot matanya tampak sendu. "Ya ... pengen aja. Gue pengen coba suasana baru. Gue ... pengen lupain masalah kemarin. Walaupun emang nggak ada hubungannya, tapi tempat ini cukup buat gue sakit. Haha, gue emang baperan," jawab Aksa dengan tawa sumbang di akhir kalimatnya. Mengatakan itu, ingatan Aksa terlempar pada beberapa waktu lalu, rasa sakit pun kembali menghantam ulu hatinya. Ia ingin melupakan masalah kemarin. Termasuk melupakan tempat di mana masalah-masalah itu terjadi.

"Sa, tapi ...." Rendy kehilangan kata-katanya. Jujur, ia tak mengharapkan ini semua. Bagaimanapun sikap Aksa-menjengkelkan, ia tetap tak ingin Aksa seperti ini. Mulut Rendy terbuka lalu tertutup kembali selama beberapa kali. Ia ingin berbicara, mencoba membujuk Aksa untuk tidak melakukan ini. Akan tetapi, ia juga tahu jika sahabatnya pasti sangat sakit.

Aksa terkekeh kecil, cukup geli dengan dua sahabatnya yang biasanya akan selalu kesal dengan sikapnya. "Kalian kenapa, sih? Gue masih tetep di Jakarta, kok. Tenang aja. Gue cuma pindah sekolah, bukan pindah kota atau pindah negara. Apalagi pindah dunia," canda Aksa mencoba untuk mencairkan suasana yang tegang ini.

"Nggak lucu, Sa," sahut Arkano datar. Ia tak butuh sikap Aksa yang sok tegar seperti ini.

Kepala Aksa mendongak. Entahlah, tiba-tiba matanya terasa panas. Padahal, ia hanya akan pindah sekolah. "Gue janji, kita bakal sering-sering main. Gue cuma butuh suasana baru dan ... ngelupain kejadian itu."

Layaknya gadis lain yang mudah terbawa perasaan, kini Airin dan Clarissa sudah mengeluarkan air matanya. Keduanya menatap sendu pada Aksa yang tegar.

"Kak Aksa," panggil Airin lirih. "Kakak yang kuat, ya," katanya menatap Aksa dengan linangan air mata.

"Aduh, Arin, Cla, jangan nangis gini, dong. Nanti gue diajak baku hantam sama pawang kalian, hahaha. Gue cuma pindah sekolah, kok. Bener, deh! Kita bakal tetep bisa main!"

"Belajar bener-bener, ya, Kak. Semoga, Kakak bisa dapat pengganti yang kemarin."

****

Laki-laki dengan seragam putih yang dilapisi almamater biru dan celana biru serta menggendong tas hitam itu menunduk, menatap jam tangan yang melingkari pergelangannya. Spontan telapak tangannya memukul kening. Jam yang melingkar itu menunjukkan bahwa sebentar lagi, ia pasti akan terlambat memasuki kelas. Jarak dari tempatnya saat ini menuju kelas, cukup jauh. Sepertinya, tak akan bisa ditempuh dalam waktu dua menit saja, seperti yang ditujukan di jam tangan itu.

Kakinya yang sedari tadi melangkah dipercepat. Mungkin, saat ini ia terlihat seperti berlari. Tanpa sadar, karena begitu panik, ia tidak melihat lawan arahnya. Sesaat kemudian, terjadi peristiwa tabrakan antara ia dan seorang gadis dari lawan arahnya.

Bunyi tabrakan itu terdengar. Tidak nyaring, tetapi mampu membuat gadis yang ditabraknya terjatuh dengan tidak bergaya sama sekali. Laki-laki itu meringis dan mengulurkan tangan, membantu gadis itu untuk kembali berdiri. Dirinya memang sudah telat. Namun, bukan berarti ia lari begitu saja setelah berbuat sesuatu yang merugikan orang lain. Ia tetap harus bertanggung jawab.

Gadis dengan rambut panjang berwarna cokelat yang dikuncir kuda, tidak menghiraukan laki-laki itu. Uluran tangan laki-laki itu ditepis dan ia segera berdiri. Kepalanya sedikit mendongak dengan tatapan tajam menatap laki-laki itu. "Nggak punya mata ya, lo?!" sungutnya sebal. Tangannya sesekali mengusap rok birunya, membersihkan debu atau kotoran yang bisa saja menempel.

My Cold Stalker (COMPLETED✔️)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang