26.

558 90 1
                                    

Happy Reading !!

Pendar samar dari cahaya lilin yang menyala di kamarnya, menjadi penerang utama yang mengiringi kegiatannya malam ini.
Foto dua orang terkasih yang terbingkai rapi di tembok kamarnya, dimana Hinata diam disana sambil memejamkan mata.

Bukan. Ini bukan ritual pemanggilan arwah, Hinata hanya sedang berdoa.
Cahaya samar dari lilin yang tidak terlalu terang menjadikannya fokus pada kegiatan doanya.
Mendoakan dua orang terkasihnya, kegiatan rutin yang selalu dilakukannya.

Memejamkan mata dengan tangan terkatup damai, Hinata selalu berdoa dengan sungguh-sungguh agar Himeka dan ibunya segera di reinkarnasi kembali ke bumi.
Bahkan jika mereka menjadi orang lain, Hinata akan berusaha menemukannya.

Tok tok.

Suara pintu yang diketuk mengacaukan konsentrasinya, membuat Hinata berdecak malas sebelum beranjak dari tempat duduknya.
Jika bukan sesuatu yang sangat penting, Hinata pastikan jika siapapun yang mengganggu acara doanya akan mendapat pukulan dari tangannya.

Yang pertama kali dilihatnya adalah Neji, dengan kegelisahan yang bersembunyi dalam ketenangan di wajahnya.
Hinata terheran-heran melihat Neji yang berada di depan pintu rumahnya.

"Neji-nii? Tumben sekali?" Tanyanya, berjalan mendekat ke arah kakaknya.

Neji hanya menyunggingkan senyum mahalnya, beranjak merengkuh Hinata dalam pelukan ringannya.
Hinata tidak menolaknya, karena yang memeluknya sekarang adalah kakaknya.

"Ayah masuk rumah sakit. Kau mau melihatnya?" Tanyanya setelah melepaskan pelukannya dari tubuh Hinata.

Tampak terkesiap, meski tidak terlihat panik. "Bawa aku kesana." Putusnya tanpa pikir panjang.

Hinata sudah tidak terkejut saat akhirnya Hyuuga Hiashi yang perkasa harus berakhir di rumah sakit karena kondisi tubuhnya yang semakin tidak prima.

Saat terakhir kali mengunjungi rumah ayahnya, Hinata sudah menyarankan agar pria paruh baya itu memeriksakan diri ke rumah sakit.
Sekedar memantau kondisi tubuhnya yang sedikit demi sedikit mulai menurun.
Mulai dari faktor usia hingga beban pikiran yang berat, semua bertumpuk menjadi satu stress dalam kepalanya.

Hinata tidak harus mengganti bajunya.
Pakaian adalah hal terakhir yang dikhawatirkannya saat ini, sebut saja ia tidak peduli pada siapapun yang akan melihatnya nanti.

Tapi, Neji memiliki pendapat yang berbeda.
Lelaki itu mendorong Hinata agar masuk kembali ke rumahnya. "Ganti bajumu, Hinata." Perintahnya tanpa mau dibantah.

Hinata menghela napas, meski pada akhirnya tetap menuruti perintah Neji.
Memangnya apa yang salah dengan pakaiannya? Piyama yang dipakainya masih terlihat sopan dan pantas dipakai keluar rumah.
Hinata heran saja dengan para lelaki yang dikenalnya, yang selalu ribut dengan pakaian yang dikenakannya.

Neji menggeleng heran, tidak habis pikir dengan Hinata yang masih sama seperti sebelumnya.
Adik cantiknya itu tidak pernah terlalu memikirkan penampilannya, selalu seenaknya sendiri tanpa peduli pada pendapat orang.

"Neji?"

Suara seseorang menyapanya dengan nada bertanya, membuat Neji menoleh untuk melihat suster kepala yang sudah berdiri di hadapannya.

Tersenyum ramah sambil membungkuk sopan, "Selamat malam, suster kepala." Sapanya.

Suster kepala terlihat heran saat melihat Neji berdiri disana di jam selarut ini, karena itulah beliau menyapanya.

"Selamat malam. Apa terjadi sesuatu yang buruk?" Tanyanya dengan wajah khawatir.

Neji tersenyum seadanya saat melihat raut khawatir itu, "Tidak ada, suster kepala. Aku hanya merindukan adikku yang nakal itu." Jawabnya singkat, mengerling pada Hinata yang keluar dari pintu kamarnya.

MR. MAFIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang