6. KAU MAU ?

1K 158 6
                                    

Happy Reading !!

Hinata bangun setelah tidur selama lima jam, tubuhnya masih terasa sakit dan lelah.
Hinata membenci tubuhnya yang sekarang, yang tidak sama seperti sebelum datang ke gereja dan mengabdikan diri sebagai pelayan Tuhan.
Dulu, ia baik-baik saja saat menghajar babi hutan atau bahkan kerbau sekalian, tapi sekarang ia merasa sangat lelah hanya karena menghajar seorang badut besar berkostum preman.
Apa ini efek karena ia jarang menghajar orang ?
Apakah Hinata harus sering menghajar seseorang dan menjadikannya seperti olahraga rutin ?
Tidak. Tentu saja tidak. Ia pasti akan mati di tangan suster kepala jika sampai melakukannya.
Suster kepala terlihat jauh menyeramkan dari semua preman yang pernah ditemuinya selama ini.

Hinata tidak mendapat luka berarti dari pertarungan tidak sepadan itu, hanya beberapa patah tulang, luka memar dan sudut bibirnya yang sobek, selebihnya baik-baik saja.
Hinata bersikeras tidak mau dibawa ke rumah sakit, dan untuk kali ini menang, karena suster kepala menurutinya lalu memanggil dokter agar datang ke gereja.
Sekarang, Hinata bersantai di kamarnya, dengan perban melilit beberapa bagian tubuhnya yang terluka.
Sejujurnya, Hinata malah penasaran bagaimana keadaan lelaki itu.
Apakah dia mengalami luka yang serius ? Atau apakah dia mengalami gegar otak ?
Ouhh .. sekarang Hinata merasa berdosa karena menghajar seseorang.

Pintu ruangannya terbuka, menampilkan suster kepala dengan wajah sembab dan mata merah saat masuk kesana.
Hinata nyengir lebar seperti orang bodoh yang tidak pernah terluka sedikitpun, dimana hal itu membuat suster kepala menghembuskan napasnya dengan lega, menggeleng heran dengan tingkah gadis dihadapannya.
Meletakkan baskom berisi air hangat di meja, duduk di pinggiran ranjang Hinata yang berusaha bangun dari tidurnya.

"Bagaimana perasaanmu ? Sudah lebih baik ?" Tanyanya.

Hatinya menghangat, Hinata selalu menyukai sikap suster kepala yang satu ini, yang keibuan dan selalu peduli pada orang lain.
Mengangguk ringan sebagai jawaban.

"Hmm .. sudah jauh lebih baik, suster." Katanya.

Hinata terlihat panik saat melihat suster kepala yang menyeka pipi basahnya, sekali lagi menangis didepan Hinata yang mendadak menjadi gagu seperti ini.

"Jangan menangis lagi, suster. Aku bahkan masih hidup sekarang."

"Jangan lakukan itu lagi, Hinata. Jangan pernah lagi."

Hinata tau apa maksudnya, suster kepala tidak mau melihatnya berkelahi lagi.
Tapi Hinata tidak bisa menjawabnya, hanya diam seribu bahasa.
Ia tidak bisa menjanjikan sesuatu yang bisa kapan saja dilanggar olehnya, ia tidak bisa melakukannya.
Jadi, yang dilakukannya hanyalah mendekat dan memeluk lembut pada suster kepala yang masih menyeka air matanya yang tidak kunjung berhenti.
Sekarang Hinata tau, suster kepala sangat cengeng dan mudah panik.
Hinata tersenyum saat suster kepala memeluknya dengan hati-hati, meski Hinata sangat baik sekarang ini.
Karena sudah sering dihajar, sepertinya ia memiliki tubuh yang spesial, karena lukanya bisa cepat sembuh hanya dalam hitungan hari.

"Aku mengerti, suster." Balasnya ringan.

Hinata tidak pernah sebahagia ini sebelumnya, tidak pernah merasa selega ini hanya karena seseorang peduli padanya.
Suster kepala bersikap sangat baik padanya, membuat Hinata semakin merasa betah di tempat yang tenang dan nyaman ini.

"Biar aku seka wajahmu."

Melepaskan pelukannya, membasahi handuk kecil itu dan mulai membersihkan wajah Hinata.
Mengelapnya dengan hati-hati dan perhatian, Hinata merasa bahwa yang melakukan itu adalah ibunya.
Hinata merindukannya, ia merindukan ibunya.

"Istirahatlah, suster Hinata."

Kepala suster hampir keluar darisana, saat Hinata menghentikannya dengan menyentuh tangannya.

MR. MAFIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang