.
.
.Setelah Wooyoung mengganti seragam basahnya dengan baju olahraga yang selalu dia bawa, kini dia dan San duduk di taman belakang sekolah yang sepi karena ada rumor kalo disana ada setannya. Sengaja nyari tempat yang jarang dilewatin orang karena diliatin orang kayak lagi berbuat dosa secara terang terangan itu bikin risih.
"Yeonjun pasti udah ngasih tau." Ucap Wooyoung berdiri dari duduknya, mengambil batu di tanah dan melemparkannya ke kolam ikan, berharap batu itu memantul. San mengangguk."Terus kalo tau kenapa tetep ngajak ngomong aku?" Lanjut Wooyoung bertanya.
"Aku gatau apa apa soalnya, jadi gimana bisa itu bikin aku bisa acuh sama keberadaanmu di dalam kelas? Yang ada aku malah penasaran banget kok kamu sendirian. Sampai aku mikir kamu itu arwah gentayangan dan cuma aku yang bisa lihat." Jawab San.
Jawaban logis, Wooyoung gabisa komen apa apa. Dia kembali melempar batu, lalu menghela nafas panjang.
"Tau, nggak? Keberadaanku itu dikutuk ama semua orang di Rejowerno. Mereka benci atau lebih tepatnya takut kalo temenan ama aku. Kalo boleh milih, kalo tau kehidupanku bakal seberat ini, aku pinginnya ga lahir aja.. tapi Ibuku selalu bilang jika tanggal yang Tuhan tetapkan ga pernah salah, karena gaada perencana yang lebih baik dari Tuhan. Itu yang bikin aku tetep bertahan, soalnya aku masih punya Tuhan." Jelas Wooyoung sambil melempar batu terakhir di tangannya.
"Jujur, pas kamu nyapa aku tadi pagi, rasanya kek gimana gitu. Kayak ada yang mau meledak, rasanya udah lama ga disapa se normal itu ama orang lain. Makanya aku pingin ngomong banyak makasih ke kamu." Lanjut Wooyoung.
"Mereka kayak gitu hanya karena tanggal lahirmu, doang?" Tanya San.
Wooyoung menggeleng, "pas aku berumur 7 tahun, seorang warga desa meninggal secara ga wajar. Tangan dan kakinya terpotong, kedua matanya tercongkel dari tempatnya. Mayat itu ditemukan ada di dalam hutan, di kaki gunung yang dipercaya sebagai tempat si wanita tua dalam legenda menjual jiwanya pada iblis agar memiliki keturunan. Dia dikelilingi bangkai binatang, batu batu yang disusun menyerupai pentagram dengan simbahan darah di atasnya. Di samping tubuhnya, tertulis 26 November."
"Dan mereka kembali mempercayai legenda itu?" Tanya San tak habis pikir.
"Sayangnya iya, kedua orang tuaku dieksekusi mati oleh kepala desa kala itu, mereka digantung di balai desa, disaksikan seluruh warga desa, sementara aku dikurung dalam ruang bawah tanah sendirian. Sampai kakekku yang merupakan orang berpengaruh kala itu datang dan membawaku pulang. Merawatku menjadi lebih kuat hingga aku berumur 13 tahun, sebelum kakek juga meninggal dunia."
"Habis itu kehidupanku jadi susah banget, gaada lagi yang belain aku kayak kakek. Lambat laun, mereka gamau ngomong ama aku lagi, semua tetanggaku pindah rumah, teman temanku tak mau bermain denganku lagi dan aku dikeluarkan dari sekolah yang merasa dirugikan karena dengan keberadaanku, gaada peserta didik yang berani sekolah di sana."
"Itu berlanjut hingga awal kelas 7, seperti apapun perlakuan mereka ke aku, mereka masih orang baik yang aku kenal, mereka mulai membiarkanku sekolah asal aku berjanji tak akan mengajak mereka bicara, dan aku menyetujuinya. Teman pertamaku itu Yeonjun, dia pindahan dari luar kota, makanya dia dibiarkan interaksi ama aku. Kutukannya dipercaya cuma berlaku untuk orang Rejowerno aja."
"Kenapa mereka milih ga ngomong ama kamu? Bahkan nganggap kamu gaada?" Tanya San.
Wooyoung menatap langit berfikir, "perumpamaan gini, omongan itu doa, orang orang yang punya kebiasaan ngomong jelek mending diem aja, dengan gitu omongan jelek itu gabakal jadi doa. Nah, kalo mereka nggak bicara ama aku, bahkan nganggap aku gaada, maka kutukannya bakal berhenti juga, itu yang mereka percaya."
KAMU SEDANG MEMBACA
[✔] Klub 513 | vol.2 | Ep.1 : Penunggang Bangkai Kematian
FanficWooyoung : "RUKUN AGAWE SANTOSO!" Yohan : "Ngapain rukun? Tawuran aja tawur!" San : "Katanya Yeonjun kalo ga tawuran ga asik, ajaran sesat memang." Yeonjun : "Itu Santoso mulutnya kok bacot sekali? Mau ditapuk pakai sandal, ya?" Changbin : "Kalian s...