Menatap lekat ruangan berukuran 7x7 berwarna putih. Melihat setiap inci isinya. Tidak ada yang berubah selama lima tahun ini. Warna, isinya, begitu pun letaknya. Namaku Jihan Zahira. Anyone call me Jihan or Han. But, he calls me 'jiji—-like 'jijik'. Aku adalah anak kedua dari pasangan Muhammad Hamzah dan Hafshah Annisa. Abang aku bernama Umar Ghifari Ramadhani. Aku bukan terlahir dari orang kaya. Kami keluarga sederhana. Ayah said, "untuk menjadi orang kaya itu cobaannya berat. Hisaban untuk hartanya panjang, digunain untuk apa aja hartanya? Apakah untuk berjihad dijalan Islam? Atau untuk sekadar maksiat? Nabi Sulaiman aja jadi Nabi yang paling terakhir masuk surga. Jadi ayah memilih menjadi orang biasa saja. Yang penting bisa sampai ke surga dengan cepat. Biar gak terlalu lama di Yaumul Hisab". Kalau pun diberikan kelebihan rezeki, aku berharap bisa seperti Abdurrahman bin Auf. Karena sedekahnya yang tidak main-main, sehingga Allah menjamin salah satu sahabat Rasulullah ini untuk masuk surga. Bahkan cara masuk ke dalam surganya pun dengan merangkak, karena saking dekat jaraknya.
Dan aku, sejak lima tahun yang lalu tepatnya selama 1.800 hari hanya menghabiskan waktu di sebuah ruangan yang berada di lantai 17 tower B, yang bernama Hadinata Corporate. You know ... I work so long. Aku gak tahu harus mengatakan apa lagi?! Dan di antara kehidupan dunia ini yang paling aku dambakan adalah 'cuti'. Yup ... just cuti. Selama lima tahun bisa hitungan jari aku memiliki kesempatan untuk mengambil hakku sebagai karyawan.
Terlalu banyak waktu yang aku habiskan dengan pria bernama Kean Arsalaan Hadinata. Cukup banyak pengetahuanku tentang pria yang kujuluki si otak cuan. Julukan tersebut memiliki makna sendiri. Si otak cuan ... cuan itu artinya uang dan di otaknya hanya tentang pekerjaan. Which means, dia adalah pria pekerja keras yang hanya memikirkan uang. Selain itu, dia begitu keras kepala dan menyebalkan. Itulah kenapa aku memberi julukan kepada Kean seperti itu.
Selama lima tahun juga, kualitas ibadahku sering sekali dikejar-kejar pekerjaan. Tolong jangan mengikuti caraku yang salah ini. Aku mengharapkan surga, tetapi untuk shalat saja aku masih harus kejar-kejaran dengan meeting, deadline, visiting, etc. Many people prayer to Allah. But, very little pray to Allah. Mungkin di akhir shalatnya hanya membaca doa sapu jagad, that's it finish—termasuk aku. Singkat sekali, padahal aku sangat membutuhkan Allah untuk mencurahkan semua keluh kesahku. Tapi untuk shalat saja terkadang aku tidak bisa khusyuk. Di rakaat pertama, pikiranku sudah melayang pada meeting, rakaat kedua pada sortir berkas, rakaat selanjutnya lupa apakah sudah rakaat ke tiga atau ke empat?! Surga mana yang aku cari dengan kualitas ibadah seperti itu?
"Ji, schedule for today?"
Suara bas khas pria dewasa menghancurkan bayanganku tentang dosa. Aku mendongakkan kepala. Seorang pria sudah berdiri menenteng iPad berwarna putih miliknya.
"Hari ini anda ada visit ke daerah Cikarang untuk meninjau perkembangan proyek ruko untuk UMKM, selanjutnya jam dua siang anda ada meeting dengan Direktur Independen dari Lippo Mall. Saya sudah memesankan restoran di Lippo juga, sesuai dengan lokasi klien." jelasku menyebutkan satu per satu agendanya.
Kean menatapku sebentar. Kemudian aku mengalihkan pandangan pada layar tab kembali. Kean masih mematung belum merespons apapun. Sepertinya dia sedang mencerna yang aku ucapkan barusan.
"Ji,"
I hate this. He call me 'Ji'. Kenapa gak manggil aku Jihan aja sih? Atau Han. Much better, right?
"Kamu bisa ganti lokasi ketemuannya, kan? Terlalu jauh jaraknya dari Cikarang barat ke Lippo. Kalau bisa kamu cari resto terdekat di barat aja." titahnya tanpa mempertimbangkan bagaimana aku menjelaskan pada sekretaris Direktur Independen itu?!
KAMU SEDANG MEMBACA
Cuti ✔️
General FictionWhat is the wonderful thing for a worker? Yeah ... Cuti. Wait ... Form cuti milikku di acc? Sebentar ... sebentar, bagaimana jika waktu cuti itu ternyata untuk selamanya? Apa, Artinya ... Aku, dipecat?