Empat laki-laki dewasa melintasi meja kami. Aroma parfum maskulin mereka cukup menusuk indera penciumanku. Sebenarnya tidak perlu juga kami menutupi wajah seperti ini untuk menghindari mereka. Sebab mereka pun tidak akan menyadari keberadaan kami di sini. Selain itu cukupbanyak staf Hadinata lain yang juga makan di sini. Jadi terhalang juga oleh mereka. Entah kenapa kami harus panik?!
Keempatnya berjalan seperti supermodel nyasar. Sesekali mereka tertawa dan entah apa yang ditertawainya. Sepertinya benar mereka tidak menyadari keberadaan kami. Aku lihat mereka langsung duduk di meja tengah paling ujung. Rasanya canggung kalau harus istirahat bersama jajaran para manager. Kelihatan sekali sekelas kami hanyalah tim kare (kacung receh) di antara mereka.
"Pindah yuk! Berasa buronan gue nutupin muka kayak gini," ajak Kayla berbisik.
Fanny menganggukkan kepalanya. "Iya nih, gue jamin gak bakalan tenang makan juga."
Setelah semuanya setuju, kami pun berdiri dan berjalan menghampiri Rizki yang berada di depan sana. Namun lagi-lagi langkah kami terhenti salah satu dari keempat pria itu berjalan ke arah kami. Kayla menarik lenganku dan juga Fanny. Sungguh kami sudah seperti maling, sampai-sampai derap langkah kaki pun sengaja dipelankan. Lalu berlari ke arah meja di pojok kanan depan. Benar kata Kayla kami seperti buronan yang dicari-cari. Padahal tujuan kami menghindar itu apa sebenarnya? Beneran aku merasa keder sendiri.
"Rizki?" panggil Fanny pelan dari arah pojok. Dengan tatapan mata yang tetap was-was ke arah pria yang sedang berjalan.
Sudah tiga kali dipanggil Rizki tak kunjung menoleh. Dia malah asik ngobrol bersama penjual bakso. Astagfirullahaladzim ... menjengkelkan sekali dia. Dengan gemasnya Fanny melempar tisu yang digulung ke kepala Rizki. Shoot ... tepat sasaran. Rizki mulai celingak-celinguk mencari sumber masalahnya. Tangan kami sudah siaga untuk melambai. Lagi-lagi ... anak itu tidak peka. Haruskah kami melemparnya dengan sepatu high heels Fanny yang runcing? Rizki sempat menoleh ke arah kami. Bersamaan dengan itu pria yang berjalan tadi menepuk pundak Rizki. Kontan kami bertiga langsung membuang muka.
"Gila ya si Rizki, gue timpuk dia gak noleh sama sekali." umpat Fanny.
"Untung gak keliatan si Kala, kalau nggak ... ketangkap basah deh kita." sahut Kayla.
Aku menyipitkan mata menatap Kayla menelisik. "Bentar deh Kay, kayaknya lo yang paling panik ya?" tanyaku menerka-nerka.
Kayla mencebikkan bibirnya. Kemudian menjawab, "lo berdua juga panik ah, lagian gak enak banget masa iya dari meeting sampai break kita barengan mereka terus. Gak nyaman cuy! Gue gak mau bikin setan ngadain konser gara-gara kita gabung sama mereka. Mmm ... berabe urusannya." jelas Kayla sambil mengendikkan bahu.
"Eh, lagian gue baru liat mereka break di sini. Biasanya kan mereka kalau lunch di cafe-cafe atau fine dining, kan? Aneh aja rasanya. Secara mereka gitu kan, gue sih yakin dompetnya masih pada tebel-tebel tuh. Kenapa harus milih ke sini? Jadi mendadak rame warung bakso Mas Agus gara-gara kedatangan mereka. Staf Hadinata juga jadi banyak yang ke sini. Maklum ya, kedatangan peragawan nyasar, dengan isi dompetnya yang plus-plus." Fanny menjedanya lalu menatap ke arah Rizki.
"Noh, beda tuh sama tu orang. Laki tapi kerjaannya minta ditraktir mulu." sambungnya dengan kesal.
Ada benarnya juga ucapan Fanny. Jarang bahkan hampir tidak pernah melihat Kean, Mas Atha, atau Arshakala yang memang beda kantor berada di warung sederhana seperti ini. Kalau Abimanyu memang dia flexible bisa makan dimana pun. By the way, ucapan Bang Umar tentang GPS itu selalu terngiang-ngiang di telingaku sampai sekarang. Dan membuat aku selalu waswas dan merasa sedang diikuti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cuti ✔️
General FictionWhat is the wonderful thing for a worker? Yeah ... Cuti. Wait ... Form cuti milikku di acc? Sebentar ... sebentar, bagaimana jika waktu cuti itu ternyata untuk selamanya? Apa, Artinya ... Aku, dipecat?