Chapter 30

7.7K 681 25
                                    

Bulan September sudah mulai memasuki musim hujan. Pagi hari yang membuat sebagian orang memilih menarik selimutnya kembali dan tertidur pulas di atas kasur. Tetapi lain cerita ketika aku sendiri yang mengalaminya.

Semenjak azan subuh hujan turun begitu deras. Turunnya hujan merupakan berkah untuk para penghuni bumi. Tetapi lucunya makhluk seperti diriku malah selalu merasa kesal setiap kali hujan turun. Padahal di waktu itulah doa-doa akan terkabul.

Mataku sebenarnya sudah hampir lima Watt. Beberapa kali aku membuka mata lebar-lebar demi mencegah kantuk. Surah Al-Waqi'ah yang kubaca ayat-ayatnya tergolong pendek, tapi karena rasa kantuk yang menyerang terasa lama tak kunjung selesai kubaca. Salah satu trik setan yang sudah bekerja keras sebelum matahari terbit, menggoda manusia untuk kembali tertidur setelah shalat subuh.

Sebagaimana sabda Rasulullah, yang diriwayatkan oleh Imam Thabrani, “ketika kalian sudah selesai melaksanakan shalat subuh, janganlah (mementingkan) tidur yang menjadi penyebab hilangnya rezekimu”. Maka kuawali pagi ini dengan langkah pertama membasuh muka kembali untuk mengusir kantuk. Baru setelah itu, mulai bersiap untuk ke kantor.

Kunyalakan laptop dan mengecek hasil kerja semalam, yang seharusnya selesai kemarin di kantor. Berhubung punggung dan mata yang sudah mulai tidak bersahabat, aku pun memutuskan untuk membawa laporan itu untuk dikerjakan di rumah. Dan berakhirlah sampai jam sepuluh malam bisa kuselesaikan laporannya.

Terdengar suara gedebak-gedebuk yang berasal dari kamar sebelah. Sepertinya penghuninya sudah bangun juga. Jelas, mustahil seorang Umar bisa bangun di atas jam lima pagi. Dan jam lima itu termasuk kategori lambat versinya. Aku melanjutkan langkah menuju lantai bawah untuk membuat sarapan seperti biasa. Sepadat apa pun aktivitas di luar sana, jangan pernah lupakan sarapan. Sebab pura-pura bahagia itu perlu tenaga. Jadi dahulukan sarapan daripada harapan.

"Lho? Ibu sama ayah udah rapi?" tanyaku ketika mendapati mereka tengah bercermin di cermin yang sengaja ditempel di ruang tengah.

"Ada rapat sama yayasan. Kamu bikin sarapannya buat dua orang aja, ibu sama ayah kayaknya sarapan di sekolah aja."

"Mau dibekali aja gak Bu? Biar aku siapin dulu," tawarku.

"Gak usah, Han. Di sekolah udah disediain kok. Lagian ibu sama ayah gak akan sanggup kalau harus sarapan di dua tempat."

Aku tersenyum melihat ibu, yang sepertinya terlihat ngeri meskipun hanya membayangkan. Jam dinding sudah menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Ibu dan ayah sudah siap pergi.

Kulihat hujan di luar masih deras. Rasanya tidak mungkin ayah dan ibu pergi menggunakan motor.

"Ayah sama ibu berangkat pake apa?"

"Bundanya Reno ngajakin bareng. Jadi ibu sama ayah nebeng ke bundanya Reno." Ibu menjedanya melihat beberapa detik ke layar handphonenya.

"Nih, mereka udah masuk ke Fb 2," lanjut ibu sambil menunjukkan layar ponsel yang menampilkan chatting dengan bundanya Reno.

Aku enggan membahas lebih lanjut. Hanya mengangguk paham. Beberapa sayuran seperti brokoli dan wortel kuambil dari kulkas. Bang Umar biasanya berangkat kerja jam setengah delapan. Masih ada waktu sekitar satu jam lagi. Dengan waktu yang tersedia rencananya aku akan memasak capcay goreng.

Tak lama tukang gedebag-gedebuk itu datang lengkap dengan tas ransel hitamnya. Penampilannya sudah rapi disertai wangi parfum yang menusuk indera penciuman.

Ditaruhnya tas ransel itu di atas meja makan. Lalu berjalan menuju dispenser hendak mengisi tumblr abu-abunya itu. Aku kembali fokus memotong-motong sayuran. Lalu mencucinya sampai bersih.

Cuti ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang