Extra Chapter 3

14.7K 783 53
                                    

Happy Till Jannah

__________

Jika ditanya mengenai feeling after marriage? Of course gue jawab so happy. Pernikahan yaitu mitsaqan ghalizan atau akad yang kuat untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Ya, menikah adalah ibadah terpanjang dan gue sendiri penyusun kurikulumnya. Setelah akad yang gue pikirkan bukan lagi soal diri sendiri melainkan bagaimana caranya untuk membangun keluarga yang diridhai Allah. Meyakinkan diri sendiri kalau gue harus jadi imam yang nantinya akan ditiru oleh istri dan keturunan gue.

Menikah dengan perempuan yang bahkan tidak pernah masuk ke dalam list tipe idaman gue, merupakan anugerah yang harus selalu gue syukuri. Jika saja tidak ada pertemuan dengan Jihan mungkin hidup gue masih sama flat dan jauh dari Tuhan. Perasaan yang membuncah ketika mendengar Jihan menerima lamaran gue. Meskipun jawaban yang pertama kali didengar bukan berasal dari mulut Jihan. Melainkan dari Abangnya-Umar.

Ternyata jatuh cinta after halal itu menyenangkan. Walaupun sebelumnya penuh perjuangan dan harus menguras kesabaran penuh. Terlebih ketika gue mendengar Jihan dilamar. Saat itu juga gue insyaf express. Bertanya ke sana ke sini sebab gue sangat ingin berubah. Jadi orang baik itu gak sulit cuma gengsi saja yang terlalu tinggi kalau terlihat baik. Takut mengurangi tingkat kerennya gue, dulu seperti itu pemikirannya.

Perempuan jutek dan pelit senyum itu sedang berada di sofa ruang tengah. Tak lupa laptopnya setia menyala di depannya. Kami berdua memang tak banyak memiliki kesamaan. Cenderung banyak perbedaannya. Tapi semuanya diimbangi dengan kepercayaan. Siang ini Jihan sedang sibuk mengisi webinar dengan tema 'peran wanita'. Menceritakan tentang perannya sebagai istri, dan sebagai bos dari bisnis kulinernya. Gue sendiri masih setia mendengarkannya sambil membaca salah satu buku yang dibeli Jihan.

Jihan meminta izin pada gue untuk mengisi acaranya hingga jam setengah tiga sore nanti. Acaranya dimulai dari jam setengah satu siang tadi. Dan gue sendiri kebetulan sedang libur. Sabtu Minggu adalah waktu paling panjang untuk kita berdua. Kita berdua bisa deep talk, mengerjakan pekerjaan rumah bersama, atau bahkan belanja groceries dengan tetap diskusi seru di jalan.

Sejak dulu Jihan memang orang yang paling mudah memberikan pendapat-pendapatnya. Gimana gak jatuh cinta, secara tidak langsung Jihan juga yang membantu proses penyembuhan mental illness yang gue derita. Walaupun terkadang caranya selalu dibumbui dengan sifat juteknya. Gue harap kehadiran gue duduk di sini menemaninya mendapatkan sedikit senyum manisnya sebagai hadiah.

"Done ..."

Gue berhenti membaca lalu menatap Jihan yang sudah menutup laptopnya.

"Udah selesai?"

"Udah," Jihan berdiri lalu berjalan ke arah meja. Pandangan gue tak lepas dari Jihan. Ternyata dia menaruh laptopnya di sana.

"Nih, minum dulu." Gue menyodorkan segelas air putih miliknya.

"MasyaAllah, makasih Yan."

Gue mengangguk, lalu menepuk sofa. Memberi isyarat agar Jihan minumnya sambil duduk. Walaupun sebenarnya gak perlu gue ingatkan juga dia sudah terbiasa.

"Siang ini kita belum cerita apa-apa lho Ji,"

"And then?"

"Aku mau denger kamu cerita tentang webinar tadi."

Jihan mengangguk-anggukkan kepalanya. Dia mengambil posisi duduk bersila di samping gue.

"Dan aku mau denger when did you start hijrah?"

Cuti ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang