Chapter 32

7K 675 18
                                    

Sejak duduk di coffee shop tadi, aku memilih memandang lurus jalanan ibu kota. Sementara kedua orang di sampingku masih asik berbincang sesekali tertawa.

Tidak ada yang menarik dari pemandangan siang ini. Hanya jalanan yang selalu dipadati kendaraan milik pribadi. Mungkin itu yang menjadi penyebab kemacetan, banyak masyarakat yang enggan menaiki kendaraan umum. Padahal banyak sekali keuntungan ketika menaiki kendaraan umum, salah satunya tidak perlu capek-capek memutar stir mencari jalanan yang kosong dan ikut macet-macetan. Ya, meskipun ada juga kekurangannya seperti keterbatasan waktu.

Matcha latte di depanku masih penuh. Baru satu tegukan saja diminum. Selebihnya aku hanya melamun sambil mengaduk-aduknya tanpa berniat meminum. Fanny dan Kayla sedang terlibat percakapan tentang klien yang menurut mereka lucu dan menjadi hiburan. Meskipun fokusku pada jalanan, telingaku masih bekerja dengan baik mendengar obrolan mereka.

"Han, lo mau break atau mau ngelamun aja? Lihat tuh, makanan lo keburu dingin dilalerin lo nanti," tegur Kayla.

Aku meringis menatap piring di depanku. Tadi aku memesan satu porsi calamari. Piring Fanny dan Kayla bahkan sudah hampir setengah porsi lagi yang tersisa.

"Lo mikirin apa sih? Dari tadi diem mulu," timpal Fanny.

"Gue tinggal tiga hari lagi di Hadinata."

"Apa?" Fanny dan Kayla berteriak serempak.

Keduanya terlihat terkejut dengan sepasang mata yang hampir terlepas dari tempatnya.

"Lo becanda? Bukannya masih semingguan lebih ya?" tanya Fanny tak yakin.

"Gue ngabisin cuti, jadi tinggal tiga hari lagi gue di kantor." jelasku.

"Ih parah lo Han! Yang bener dong?" kesal Kayla.

"Terus projek di Makasar gimana?" Fanny memandang serius.

"Nah bener tuh Fan, lo gimana sih Han?" Kayla ikut-ikutan kesal.

"Kan ada Abimanyu, dia nanti yang handle sama Kean di sana."

"Iya gue paham. Tapi,  Abimanyu belum pernah ngikutin semua projeknya si bos. Ah lo parah Han, ini kan projek gede masa sih lo tinggalin gitu aja?" Kayla meringis.

"Si bos gak ngelarang lo?" Fanny menatap serius.

Aku menggelengkan kepala.

"Percuma dong skill buayanya gak kepake kalau gak bisa bujuk lo." kesal Fanny.

Aku mengendurkan bahu bersandar di punggung sofa.

"Kalian semangat ya, sorry gue gak bisa nemenin kalian di projek itu." permintaan maaf yang kulontarkan hanya dibalas deheman oleh mereka berdua.

Aku masih memikirkan perkataan Aliza semalam. Dia datang ke rumah tanpa ditemani Altamis. Cukup mengejutkan aku dan keluarga.

"Han, sorry sebelumnya. Aku gak bermaksud buat ikut campur masalah kerjaan. Tapi posisi kamu ke depan pasti bakalan sulit. Mengingat history kalian.

"Aku juga gak yakin keadaan kamu di Altaf Partners lebih baik dari Hadinata Corp. Aku takut aja masa lalu kalian diungkit lagi sama yang lain.

"Mungkin aku bisa ngertiin kalian kayak apa dulu. Tapi nggak buat tim Altaf sama keluarga aku khususnya. Aku gak takut kehilangan Alta, Wallahi aku cuma takut keluarga aku khususnya berprasangka buruk sama kamu Han."

Aliza memegang erat kedua tanganku. Wajahnya menyiratkan ketulusan yang sungguh-sungguh. Tatapannya didominasi dengan kekhawatiran yang mungkin saja benar akan terjadi padaku.

Cuti ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang