Chapter 6

10.5K 1K 18
                                    

Berharap bisa mengambil cuti setelah melakukan perdin, ternyata tidak bisa. Aku masih harus menggantikan Kean yang sedang mengambil cuti untuk bedrest. Godaan terbesar di pagi hari, setelah shalat subuh, mulut tidak berhenti menguap. Allahu akbar, mata pedas nagih untuk dipejamkan.

Mencoba untuk mengalihkan rasa kantuk dengan mendengarkan murrotal. Penghuni kamar sebelah sepertinya sudah bangun. Terdengar jelas penghuninya yang sedang berbicara setengah berteriak. Entah dengan siapa dia berbicara?!

"Bang ...," teriakku.

"I'm busy!" timpalnya ikut berteriak.

Astagfirullah, belum apa-apa dia sudah mengatakan sibuk. Kakak spesies apa dia?

Mendapatkan penolakan secara langsung, aku memilih untuk turun ke lantai bawah. Pemandangan seperti biasa yang aku lihat di setiap pagi. Ayah berkutat dengan koran, dan secangkir kopi sebelum pergi mengajar. Ibu berkutat dengan wajan dan kompor sebelum pergi mengajar juga.

Dua orang yang kini rambutnya mulai memutih merupakan tenaga pengajar di salah satu sekolah swasta Islam terpadu. Ayah sebagai guru fisika, tapi pintar untuk bidang Fisikanya tidak ditularkan kepadaku. Sedangkan Ibu sebagai guru Pendidikan Agama Islam. Fakta selanjutnya, Bang Umar merupakan lulusan pondok. Tapi pria yang tahun ini menginjak usia 28 tahun itu belum juga melirik satu akhwat yang akan menjadi pendampingnya.

"Aduh Tuan Putri, mau kapan cari jodohnya? Segini hari udah rapi aja mau kerja," sindir Ibu.

Ayah hanya menatapku sekilas. Lalu menggelengkan kepala dengan senyuman khas Bapak-bapak ramah.

Aku menurunkan tas laptop, dan tas jinjing. Outfit of the day to office, abaya hitam dengan aksen kerut dibagian pergelangan tangannya, dan sedikit melebar menutupi jarinya. Ditambah pasmina hitam yang cukup lebar. Flat shoes hitam. Lebih tepatnya seperti orang sedang berduka.

Aku suka sekali memakai pakaian berwarna gelap. Alasan pertamanya mudah untuk dicombain dengan warna lain. Kedua kalau kotor tidak mudah terlihat. Ketiga berdasarkan salah satu hadist, "Wanita-wanita Anshar keluar seolah-olah pada kepala mereka terdapat burung-burung gagak karena kain-kain (mereka)." (HR Abu Dawud).

"Yah, lihat tuh anak gadisnya! Apa Ayah gak kepikiran buat kenalin Jihan sama Nak Byan?" tanya Ibu kepada Ayah.

Seseorang turun dari tangga dan ikut menimpali perkataan Ibu. "Byan siapa Bu?"

Hm, kompor nih orang-batinku.

"Itu Abyan anaknya Bu Frida yang ngajar juga sama Ayah." jawab Ayah sambil fokus dengan korannya.

Aku memutar bola mata dengan malas.

"Abang udah 28 tahun belum nikah, kok Ibu sama Ayah adem-adem aja?" demoku tak terima.

"Beda!!" jawab mereka serempak.

Ngegass amat!!

Aku mengerutkan kening, "Kok beda?"

Ibu menaruh piring besar berisikan bakwan. Sepertinya sejak dulu gorengan adalah sarapan wajib di keluargaku. Meskipun ada roti tawar, tetap saja gorengan adalah menu andalan Ibu.

"Ya bedalah, Abang ini laki-laki. Mau dia nikah umur berapa tahun juga gak berpengaruh. Kalau kamu perempuan, berpengaruh juga sama kesehatan. Sekarang gini, kamu umur 25 belum nikah, nanti kamu hamil umur berapa? Perempuan makin tua umurnya terus hamil itu resikonya tinggi." jelas Ibu.

Aku menghela napas sejenak. Dapat jodoh saja belum, yang dibahas langsung ke hamil.

"Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS An-Nur:32)

Cuti ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang