Chapter 12

8K 858 33
                                    

Hal paling menyedihkan apa yang pernah terjadi di kehidupan kalian?
Jika kalian bertanya padaku, tentu akan kujawab. Aku pernah menyukai seseorang secara diam-diam. Dan berakhir luka atas diamnya aku. Ternyata tidak mudah untuk mencintai seseorang secara diam-diam. Menyembunyikan perasaan dengan harap hanya aku dan Maha Pencipta saja yang tahu. Namun pada faktanya, pria yang aku kagumi bukanlah seperti Ali padahal aku sudah mencoba jalan mencintainya seperti cara Fatimah.

Kadung jatuh cinta, apapun yang dilakukan pria itu selalu dianggap spesial untukku. Dan patah hati pertama yang aku terima adalah ketika dia menyerahkan sepucuk surat berwarna merah bata ke rumahku. Saat itu aku benar-benar bersikap bodoh—pura-pura tidak paham dengan isinya. Seolah memiliki hati yang tangguh, aku membuka pita yang membalut suratnya. Jelas di sana terukir indah nama pria yang selalu kusebut dalam sepertiga malamku, tetapi sungguh malang ... bukan namaku yang terpilih untuk mendampingi ukiran kisah hidupnya.

Ingin menangis tapi rasanya tidak mungkin. Apalagi di hadapan aku saat itu adalah pria yang dengan sengaja mematahkan harapku. Tidak menangis pun aku tak mampu, mataku terlanjur berair dan sudah pasti merah. Menahan rasa perih itu dan berpura-pura seolah menjadi bagian yang merasa paling bahagia atas kabar pernikahannya.

"Kamu kok nangis, Han?" tanyanya yang ternyata menyadari air mataku sudah terjun bebas.

Aku mengusap kedua mataku, "aku bahagia aja Kak, gak nyangka ternyata Kak Alta yang nikah duluan. Aku pikir Bang Umar yang mau duluan, " dustaku sambil berusaha tersenyum. Senyum penuh luka.

"Thank you my little sister," balasnya dengan senyum yang menjadi candu untukku. Dan setelah itu senyumnya berubah menjadi senyum penuh luka untukku.

Just little sis, SIS tiga huruf dengan makna yang cukup membuatku tahu diri. Posisiku seperti apa untuknya. Hanya sebagai adik perempuannya, dan aku terlalu berlebihan mengharapkan lebih dari sekadar little sister. Tamparan yang nyata bahwa selama ini Kak Alta hanya memandangku sebagai adik perempuannya, bukan sebagai perempuan dewasa yang mengharapkannya sebagai pendamping hidup.

Sebersit bayangan itu kembali muncul saat aku mendapatkan kabar dia akan kembali. Pria bernama Altamis Abbiyya Abyaz, dia akan kembali setelah lama aku berusaha mati-matian melupakannya. Haruskah aku kembali berpura-pura untuk tetap terlihat baik-baik saja, setelah kepergiannya?! Mampukah aku mengesampingkan lukaku sebentar saja?

"Ji ..."

Tubuh tinggi itu ambruk di hadapan aku dan Bang Umar. Tubuhnya benar-benar menggigil. Jangankan untuk berdiri untuk mengepalkan tangannya saja sepertinya dia tidak akan mampu. Bang Umar segera membantu tubuh Kean yang tersungkur ke lantai.

"Bang dibawa ke kamar aja." titahku.

Abimanyu berlari membantu Bang Umar mengangkat tubuh Kean. Aku lihat di atas nakas sebilah pisau dan botol obat masih berada di sana. Kuraih benda itu lalu kembali kutaruh ke dapur. Dan pil-pil di dalam botol itu ... aku tahu obat apa. Itu obat antidepresan milik Kean.

Tiga tahun yang lalu dokter Azzam memberitahu keadaan Kean yang sebenarnya. Dokter Azzam menceritakan tepat satu tahun sebelum memberitahuku, Kean memberanikan diri menemuinya. Dan semenjak itu pula Kean resmi didiagnosa menderita anxiety disorder. Mental illness yang dideritanya terjadi setelah kematian ibunya.

Setiap ada yang berkaitan dengan kematian ibunya, Kean akan mengalami trauma itu lagi. Kalau dia sudah kambuh dia akan merasakan ketakutan berlebih, hingga tubuhnya menggigil. Dia juga akan menyendiri di ruangan gelap. Seperti saat ini kami menemukannya dalam keadaan bersembunyi di kamar yang gelap dan terkunci.

Aku kembali ke ruang tengah setelah membawa handuk kecil dan wadah berisi air hangat. Kean menolak dibaringkan di kamar. Keadaannya benar-benar memilukan kalau sudah seperti ini. Tetapi kalau dia sudah sembuh sikapnya akan kembali menyebalkan.

Cuti ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang