Chapter 26 (1)

6.6K 700 15
                                    

Siapakah yang mampu bertahan hidup tanpa cinta?

Jawabannya ... tentu tidak mungkin ada satu makhluk pun yang bertahan hidup tanpa cinta. Hal terkecil yang tanpa disadari juga berkaitan dengan cinta. Angin bertiup karena cinta, hujan turun karena cinta, tumbuhan hidup karena cinta, kupu-kupu berwarna-warni juga karena cinta. Cinta yang berasal dari Allah Maha Pencipta. Lantas makhluk macam apa diriku yang tak menginginkan kehadiran cinta?

Aku pernah berpikir untuk menjadi seorang Rabiatul Adawiyah, yang tidak menikah atas ketaatannya pada Sang Pencipta. Tetapi bagaimana aku bisa dikatakan sebagai umat Rasulullah dan hamba-Nya, jika sunnah rasul-Nya saja tidak kuikuti. Allah atur saja seperti yang telah engkau tetapkan di lauh mahfudzku. Karena yang baik menurutku baik belum tentu menurut Engkau.

Sore ini, hujan begitu deras. Jika dengan menaiki ojol tidak mengurangi performa kerjaku tentu akan kulakukan. Tetapi aku tidak mungkin datang ke tempat rapat dengan pakaian basah kuyup. Akhirnya aku memutuskan untuk menerima ajakan Abimanyu. Untunglah tidak hanya aku dan Abimanyu saja yang berada di dalam mobil, Mbak Tari selaku Manager Keuangan juga ikut dalam satu mobil.

Hampir satu jam dihabiskan di jalan. Tepat jam empat sore aku dan yang lain baru sampai di Hotel. Sepasang doorman dan doorgirl membantu membukakan pintu. Aku bergegas menuju counter resepsionis untuk menanyakan kamar yang tadi sudah dibooking. Seorang staf resepsionis perempuan mengatakan:

"Kebetulan Pak Kean Arsaalan menitipkan pesan tadi. Beliau mengatakan venue untuk meeting dimove ke restaurant, beliau sudah menunggu lima belas menit yang lalu. Restorannya berada di lantai dua belas. Petugas porter kami akan membantu mengantarnya."

Kami bertiga bergegas setelah mendengar perkataan staf resepsionis tadi. Tombol open lift ditekan oleh petugas porter yang mempersilakan aku dan yang lainnya masuk lebih dulu. Salah satu standard operational procedure mereka. Ini cukup bertentangan dengan islam, dimana seharusnya seorang lelaki berjalan lebih dulu daripada perempuan.

Ingat perkataan khalifah kedua, Umar bin Khattab mengatakan: "aku lebih rela berjalan di belakang seekor singa, daripada berjalan di belakang wanita". Sebab fitnah wanita lebih nyata. Selain laki-laki yang harus menjaga pandangannya, perempuan juga harus bisa menjaga muru'ahnya.

Pintu lift terbuka di lantai dua belas. Hal pertama yang berkesan saat kulangkahkan kaki keluar dari dalam lift yaitu perasaan kagum. Salah satu gedung pencakar langit ini menyediakan fasilitas restoran yang cukup cozy. Bisa masuk ke dalam list venue makan siang nih-pikirku. Atapnya terbuat dari kaca, pot-pot gantung menjadi pendukung untuk kesan aesthetic. Bentangan panorama jalan ibu kota terlihat dari sini. Satu yang membuatku berhenti kagum dengan tempat ini ... tatapan tajam seorang lelaki yang tengah duduk sendirian di salah satu meja untuk kapasitas empat orang. Tanpa membuang-buang waktu lagi, aku dan yang lain langsung menuju tempat dia duduk.

"Sorry we're late. Jalanan unprediction banget sih. Sampai Abi nyari-nyari jalan alternatif," sesal Mbak Tari.

Aku menarik salah satu kursi di samping Mbak Tari dan Abimanyu. Kean langsung menarik berkas yang berada di depanku tanpa memedulikan minumannya tumpah. Atau bahkan dia juga melupakan menawari kami minum lebih dulu. Seperti pertemuan tadi pagi, wajahnya masih terlihat kaku tanpa ada senyum seperti biasanya.

"Gue sengaja ngajak lo meeting di sini. Kayaknya gue butuh udara yang fresh selain kantor." ujar Kean tanpa mengalihkan pandangannya dari kertas-kertas yang sekarang dibagi dua dengan Mbak Tari.

Lo gue mode on. Maklumlah mereka itu memiliki hubungan darah juga infonya. Entah sepupu atau apa itu namanya.

"Lo itu bukan butuh udara yang fresh, but you need free day. Cuti brother makanya," ledek Mbak Tari sambil terkekeh.

Cuti ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang