Chapter 16

7.2K 792 52
                                    

"Anda ngapain di sini?" todongku yang mulai gemas karena Kean tak kunjung menjawab.

Jangan-jangan dia ngikutin aku lagi? Tapi perasaan GPSnya aku matiin deh. Semoga kali ini tebakanmu salah Jihan.

"Saya lagi nostalgia aja," jawabnya dengan santai.

Nostalgia? Malam-malam di rumah kosong?

"Gak usah serius juga kali Ji mukanya," Kean terkekeh mendengarnya.

"Saya ke sini cuma mau nengok rumah lama saya aja."

Aduh Jihan, malu deh udah. Jelas-jelas ini kan rumah yang Bang Umar maksud untuk kasus itu. Aduh kenapa aku bisa gak kepikiran sampai sana? Okay, back to normal please degup jantung.

"Kalian ngapain?" tanya Kean padaku dan Bang Umar.

"Rumah kita di sini, tuh paling ujung fb 1 nomor dua puluh tiga." jawab Bang Umar.

Kean menatap rumah yang ditunjuk Bang Umar. "Deket ternyata, kalau saya pindah bisa tetanggaan kan?"

Oh, no!! No … big no!! Jangan ngadi-ngadi Kean. Cukup di kantor ruangan kita deketan.

"Bagus dong, kapan rencana pindah?" sahut Bang Umar.

Ya Allah nyebelin banget sih Bang Umar, tadi aja nyuruh adiknya resign sekarang antusias gini denger dia mau pindah.

"Secepatnya kayaknya lebih bagus ya?" tanya Kean pada Bang Umar tapi gesturenya mengarah kepadaku.

Aku menggigit bibir bagian dalamku. Memikirkan bagaimana caranya menyeret Abangku ini yang jahilnya mulai kumat lagi?

"Ide bagus, kabarin saya ya kalau mau pindah biar saya bantuin." ujar Bang Umar menawarkan diri.

"Btw, kayaknya kita belum kenalan deh. Saya Kean, rekan kerjanya Jihan." ucap Kean sambil mengulurkan tangan.

"I see … saya Abangnya Jihan, Umar." sambut Bang Umar.

Siapa bilang perempuan kalau bertemu pasti menciptakan obrolan yang lama? Nah lihatlah, dua laki-laki ini bahkan malah asik mengobrol sambil mengabaikan diriku yang hampir pegal menunggunya.

Obrolannya semakin mengarah pada pekerjaan. Kalau sudah seperti ini, tandanya obrolan ini akan berlangsung lama. Sudah seperti meeting. Aku menghela napas dan menatap jam tangan. Sudah menunjukkan jam 18.45.

"Bang, gak shalat berjamaah? Udah mau isya lho Bang. Nanti telat lagi," aku memberi peringatan. Padahal hanya alasan saja.

Bang Umar yang sedang asik membahas project jalan layang yang sedang dikerjakan Kean pun memutuskan menatap jam tangannya. Sementara pria di depan kami masih santai dengan kedua tangannya dilipat di atas dada bidangnya.

"Sorry nih, kayaknya kita harus balik dulu. Kalau nggak, mampir aja dulu ke rumah kita gimana?"

Kontan saja aku membulatkan mata setengah melotot ke arah Bang Umar. No Abang … no—bantinku.

Kean menarik napasnya pelan, "thanks in advance, kayaknya lain kali aja. Soalnya saya harus ngambil beberapa barang di rumah ini.

"Mungkin di waktu lain, saya mampir dengan 'lebih resmi'." ujarnya.

Lebih resmi? Ini perasaan aku aja yang merasa kata 'lebih resmi' memiliki makna khusus?! Atau roaming otakku saja yang terlalu cepat.

Akhirnya setelah berpamitan pada Kean, aku dan Bang Umar melanjutkan perjalanan pulang. Di depan rumah sudah terparkir mobil SUV berwarna hitam. Dengan malas aku membukakan pintu mobil setelah Bang Umar memarkirkannya di carport rumah yang hanya muat satu mobil.

Cuti ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang