Chapter 17 (2)

6.9K 810 29
                                    

Matahari bersinar cukup terang pagi ini. Kicauan burung saling bersahutan di antara ranting-ranting pohon. Menikmati oksigen yang diberikan Allah secara percuma. Betapa diri ini kurang pandai mensyukuri nikmat yang Allah berikan tiada tara ini. Nikmat sehat sekaligus menjadi pelengkap kenikmatan yang Allah anugerahkan. Fa bi ayyi ālā'i Rabbikumā tukażżibān "Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?"

Aku berdiri di balkon kamar. Memandang lurus pada jalanan yang mulai dipadati oleh aktivitas manusia. Mereka yang sedang mengais rezeki, yang hanya sekadar keliling komplek untuk berolahraga, yang sibuk menyuapi anaknya makan, yang mencuci kendaraan masing-masing, seperti itulah kegiatan kebanyakan orang di pagi hari.

Kulihat di lantai bawah Ibu Hafshah nama ibuku sedang sibuk membuatkan bekal untuknya dan putra satu-satunya. Yup, satu-satunya putranya adalah Bang Umar. Sedangkan Bapak Hamzah yang terkenal paling kalem di antara anggota keluarga sedang melakukan rutinitas pagi harinya dengan menyemir sepatunya hingga mengkilap. Lumayan hasil semirnya bisa dipakai untuk bercermin juga. Sementara di lain tempat, salah satu anak Ibu yang paling mewariskan sifat dan wajah Ibu-Bang Umar, dia sibuk sekali mondar-mandir ke dalam kamar. Memastikan semua benda yang dia butuhkan di kantor nanti sudah masuk ke dalam tas. Aku hanya memandangi kesibukan mereka sambil membereskan piring-piring kotor bekas sarapan.

Hari ini aku mengambil cuti selama tiga hari. Kean berubah pikiran dan mengizinkan aku untuk cuti. Sementara dia dan Abimanyu harus terbang ke Makasar untuk melaksanakan proyek besarnya. Kean menolak didampingi sekretaris cabang. Alasannya klasik, hanya akan menambah beban pekerjaannya nanti. Padahal tidak semua sekretaris cabang sama perilakunya seperti Nazwa. Sedikitnya sekretaris-sekretarisnya itu bisa membantu pekerjaannya yang lain.

Untuk masalah resign, aku dan Kean sudah membuat persetujuan. Kean memberi waktu tiga bulan untuknya bisa mencari asisten seagai pengganti diriku. Dan waktu tiga bulan itu, akan aku gunakan pula untuk mencari pekerjaan baru sambil mencari calon pengganti diriku. Lebih cepat lebih baik, semoga saja. Cuti kali ini aku benar-benar memanfaatkan waktu untuk tidak membuka handphone, laptop. Aku ingin menikmatinya tanpa ada gangguan dari kantor sedikit pun. Egoiskah aku? Entahlah, yang terpenting selama tiga hari pekerjaanku diserahkan kepada Abimanyu. Dia pun menerima semuanya dengan baik.

"Kamu mentang-mentang libur, santai banget sih." Protes Bang Umar.

"Siapa yang santai sih? Orang lagi masak, lagi beres-beres." Jawabku datar.

Bang Umar menghampiriku di dapur. Dia menyerahkan flashdisk yang sejak tadi dipegangnya. "Kasihin ke Alta ya? Nanti katanya dia mau ke sini." Titahnya.

"Ish ... kenapa gak sama Abang aja sih? Abang pasti lewat rumahnya, kan?" kesalku.

Jujur saja aku malas untuk bertemu Altamis. Kenapa Bang Umar tidak melarang dia datang ke rumah? Padahal sudah tahu hanya ada aku di rumah.

"Dia mau ngasih apalah Abang gak tahu, jadi mana mungkin Abang bawa ke kantor. Ribet." Balasnya tak peduli.

"Terus ngebiarin dia datang ke sini, padahal Abang tahu cuma ada aku doang di rumah?" demoku dengan sangat jengkel.

Bang Umar berdecak pelan, "Abang udah kasih peringatan dia buat gak masuk rumah. Cuma sampai gerbang, gak ada penolakkan. Lagian dia juga ngerti kali Han, mana mungkin dia mau masuk ke rumah kalau cuma kalian berdua aja."

Kuhela napas pasrah, "ngerti, tapi kan setan punya banyak cara buat goda manusia. Inget kisah Syaikh Barshisa ulama yang meninggal dalam keadaan kafir dan menjadi seorang pezina? Itu sekelas ulama, lho Bang."

Tujuanku mendebat itu karena takut terjebak dosa, atau karena tidak ingin bertemu dengan Altamis? Entahlah. Yang pasti aku malas untuk bertemu lagi dengan Altamis.

Cuti ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang