Chapter 4

11.9K 1.2K 40
                                    

Semua berkas yang menyangkut kontrak kerja sama sudah kusiapkan. Koper kecil berwarna hitam sudah siap juga. Kemungkinan aku berada di Pontianak selama 2-3 hari saja. Nazwa ikut serta, karena aku tidak ingin terjebak hanya berdua bersama pria setengah waras itu.

Selepas shalat subuh, aku menggedor-gedor pintu kamar Bang Umar. Mumpung semalam dia membawa pulang mobil inventaris, aku jadi bisa minta diantar ke airport olehnya. Lumayan, irit ongkos.

"Bang ... udah bangun, kan?" teriakku.

"Apa sih?" teriak balik orang di dalam sana.

"Anterin aku ke Soetta dong!" pintaku.

"Flight jam berapa?" teriaknya.

"Jam 7, ayolah Bang please!"

Selang sepuluh menit menunggu di depan pintu kamar orang. Seseorang muncul dengan hoodie hitamnya, dan celana jeanssepertinya yang kemarin. Whatever ... yang terpenting dia mau mengantarku sekarang.

Aku mengamati sebentar wajah Bang Umar. Matanya merah, hidung merah, dan memang suaranya sedikit serak. Sepertinya dia ikut terserang flu juga. Aku memilih tak banyak bertanya. Hanya mengikuti Bang Umar dari belakang. Dan kami berhenti sejenak di depan meja makan. Ibu masih sibuk menyiapkan sarapan, sedangkan Ayah masih berkutat dengan acara berita di televisi dan secangkir minuman berwarna hitam pekat—kopi.

Ibu menghampiri sambil membawa piring yang berisi tempe mendoan. Sarapan yang kurang sehat.
"Kamu kemana lagi Jihan? Lho, minggu kamu masuk senin udah gerek-gerek koper aja. Mau kapan nyari jodohnya kalau masih sibuk kerja ngurusin bos kamu? Atau kalau nggak, kamu ajak nikah aja bos kamu itu!"

Refleks aku membulatkan mata ke arah Ibu. "Astagfirullahaladzim, Ibu ngomongnya?"

"Lho, Ibu bener kan Bang? Kalau Jihan ngurusin bosnya terus, mending nikah sekalian aja. Halal jelas. Bosnya Jihan single juga kan Bang?" tanya Ibu beralih pada Bang Umar. Mencari pembelaan.

Bang Umar mengangguk-angguk. Tangannya mencomot tempe mendoan. Lalu memakannya dengan lahap.

"Mana ada sih Bu, perempuan ngelamar laki-laki duluan?"

"Lho ada, Sayyidah Khadijah juga ngelamar Rasulullah duluan." timpal Ibu.

Tapi masa iya aku harus melamar Kean? Yang betul saja? Jelas-jelas kita hidup di dimensi yang berbeda.

"Udah aku mau jadi Sayyidah Fatimah aja, hanya Allah yang tahu atas cintanya kepada Ali." belaku.

Bang Umar yang sejak tadi menahan tawa, seketika menyemburkan tawanya. Aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala melihat reaksi Ibu dan Abangku. Rasanya tidak mungkin kalau misalnya aku berjodoh dengan Kean?! Bak upik abu bertemu pangeran.

Tydack!!

Membayangkannya saja aku ngeri sendiri.

Daripada mendengarkan Ibu kembali ceramah perihal jodoh, sebaiknya aku mengajak kabur Bang Umar.

"Bang, ayo buruan ah, nanti telat lagi." paksaku menarik lengan Bang Umar.

Bang Umar yang masih tertawa, terpaksa mengikuti langkahku.

"Bu, titip pesen sama calon mantu gak?" teriak Bang Umar.

Sebelum Ibu menyahut, aku menarik lengannya untuk segera keluar. "Jangan ngadi-ngadi deh, Bang!"

Nazwa mengabariku bahwa dia sudah sampai. Dia sepertinya kapok untuk terlambat lagi. Sehingga, jam setengah tujuh tadi dia sudah berada di Soetta. Bang Umar memainkan jari-jarinya di atas stir, sambil menunggu lampu merah.

Cuti ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang