Chapter 31

6.7K 760 23
                                    

A/n: apa kabar semuanya?
Ada yang masih sabar nungguin cuti update kah?

Tadinya mau double up malam ini, tapi ada hal lain yang menjadi kendala. Jadi next chapter insyaAllah double chapter yaa ...

For your information, cuti insyaAllah diselesaikan hingga akhir November/awal Desember yaa!

Selamat membaca!!


"Kenapa kamu diam?" tanya Kean dingin.

Aku menggeleng.

"Kamu gak akan ngomong apa-apa kan kalau saya sendiri gak tahu? Iya kan, Ji?" desaknya.

"Nggak gitu, Pak." jawabku.

"Terus gimana?"

Aku menggigit bibir bawah menatap lurus ke bawah meja sambil meremas abaya hitam yang kukenakan.

"Harus saya jelasin?" tanyaku penuh ragu.

"Kalau perlu ... silakan." timpal Kean masih bersikap dingin.

Entah dari mana awalnya berita seputar alasan aku resign ini mencuat. Sehingga pagi ini Kean benar-benar marah. Alasan utamanya mungkin karena berita itu menyeret namanya sendiri. Nada bicaranya tak terdengar seperti biasanya. Beberapa kalimat penuh dengan penekanan meskipun dengan sikap dingin.

Selama lima tahun bekerja bersamanya, baru kali ini melihat Kean semarah itu. Bayangkan saja, dia marah namun sikapnya seolah sedang tidak marah. Lebih baik melihat dia marah-marah sehingga aku tidak akan merasa terlalu salah. Daripada bersikap acuh dan malah membuat aku semakin merasa bersalah. Begitulah manusia, sibuk mencari pendosa. Padahal jelas-jelas pendosa itu ada di depan cerminannya sendiri. Ada perasaan bersalah, tetapi lidahku kelu untuk mengatakan yang sesungguhnya.

Sudah hampir lima belas menit aku duduk mengunci mulutku. Abimanyu berada di antara aku dan Kean. Kami bertiga sama-sama diam dengan alasan masing-masing. Aku diam karena bingung harus menjelaskan seperti apa, Kean diam karena menanti penjelasanku. Sedangkan Abimanyu diam karena merasa tidak enak oleh kami sepertinya begitu.

"Saya tidak harus menahan siapa pun yang tak mau bertahan dengan saya. Tetapi saya juga gak bisa menolak siapa pun yang datang dan pergi di kehidupan saya. Walaupun hanya sebatas singgah." ujar Kean tanpa mengalihkan perhatiannya.

Mulutku seolah dibekap. Setiap tetes darah yang mengalir di tubuhku dibuat panas dingin oleh perkataan Kean. Selama bekerja dengannya tak pernah sekali pun kudengar dia semarah itu. Meskipun tak sedikit staf yang benci terhadap sikap otoriternya.

"Saya ... bisa ... jelasin," ujarku terbata-bata.

"Silakan!" balas Kean.

Kedua tangannya disilangkan di dada. Sikapnya benar-benar membuatku tak berkutik.

Aku mengerlingkan mata ke atas langit-langit. Berharap ada jawaban terlampir di sana. Biar aku bisa menjelaskannya pada seorang Kean. Tanpa berujung perdebatan.

"Ya, perkataan mereka memang benar."

Kontan Kean dan Abimanyu menengadah menatapku.

Aku menarik napas dalam-dalam sebelum melajutkannya.

"Alasan utama saya memang betul seperti itu. Semakin hari saya merasa semakin tidak nyaman bekerja bersama laki-laki yang bukan mahram. Kenapa baru di tahun ini saya menyadari semuanya? Karena saya merasa semakin hari orang-orang semakin banyak membicarakan saya, dan seharusnya sesekali saya mendengarkan mereka.

Cuti ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang