Chapter 2

15.1K 1.4K 34
                                    

Setiap melihat tanggal merah, atau pun melihat Instagram story teman-teman yang sedang berlibur, jujur aku sering iri. Kenapa? Karena aku tidak bisa melakukan hal itu seperti mereka. Jangankan berlibur, tanggal merah saja sering sekali aku masuk kerja.

Gara-gara si trouble maker cancel pertemuan dengan Pak Daffid beberapa hari lalu, aku menjadi sangat repot mendengar komplainnya. Sementara si otak cuan hanya ongkang-ongkang kaki sambil ditemani permaisuri-permaisurinya yang sedikit minim bahan pakaian.

Sungguh, aku muak dengan kelakuannya.

Seseorang mengetuk pintu depan ruangan. Dari ekor mata menangkap bahwa dia seorang perempuan. Aku mengangkat kepala, lalu menoleh pada sumber suara. Wow … mengejutkan. Perempuan dengan rok mini di atas lutut sedang berdiri menunggu kupersilakan untuk masuk.

"Kean, ada?" tanyanya.

Aku masih menatap—ralatmelongo. Penampilannya luar biasa. Aku harap staf laki-laki di kantor ini yang berjumpa dengannya bisa menahan iman. Aku saja yang perempuan merasa risi dengan penampilannya yang hanya memakai blouse tanpa lengan, dan rok jeans yang hanya dua jengkal dari perut.

"Su-sudah buat janji sebelumnya?"

"Udah lah, bilang aja Karinina mau ketemu!" titahnya.

Aku segera menekan extention 1 yang menyambungkan langsung ke telepon di ruangan Kean. Tak butuh waktu lama, si otak cuan menjawabnya.

"What happened, Ji?"

"Ada yang mau bertemu dengan anda, namanya Karinina."

"Oh, oke. Suruh dia masuk, Ji!" titahnya.

Setelahnya sambungan itu terputus. You know … what are they doing ini office, now? Kayaknya aku gak harus jelasin secara gamblang. Di atas usia tujuh belas tahun bisa langsung menebak kegiatan dua orang manusia beda jenis kelamin dalam satu ruangan tertutup.

Ikut berdosakah aku karena mengizinkan perempuan tadi masuk?

Yup, saatnya aku untuk memasang earbud di telinga. Menyalakan aplikasi hijau yang memutar podcast dakwah. Seperti itulah aku mencoba menghindari dosa-dosa yang nyata di depan mata. PC yang sejak tadi menyala hanya menampilkan satu sheet yang berisi agenda kerja Kean.

Satu jam berlalu. Sudah memasuki waktu istirahat. Aku mengklik tombol close pada semua aplikasi yang berjalan di PC. Karena tidak semua orang di kantor ini jauh dari rasa ingin tahu. Bahkan dinding saja bisa mengintip apa yang membuatnya penasaran.

Kring

Kring

Telepon di meja berdering. Segera aku menjawab telepon itu. Aku memutar bola mata malas ketika mendapati sebuah nama yang tertera di telepon—Kayla Manarasi kepo maksimal.

"This's Jihan …"

"Hey, kam—"

Aku mendengus kesal dan langsung memotongnya. "Ngapain lo? Mau manggil gue kambing? Kampret? Kampung? Ape?"

Orang di sebrang telepon sana hanya menyemburkan tawa puas. "Lo itu, marah-marah mulu zeyenk, dengerin gue belum selesai ngomong napa sih? Tadi gue mau bilang hey kamu, eh elo main potong aja. Ya auto ngakak gue," jawabnya di sela-sela tawa.

"Ape? Ngapain lo nelepon?" tanyaku sarkas.

"Yaelah ketu sekre, marah-marah mulu lo cepet tua baru tahu rasa!" umpatnya.

Cuti ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang