Chapter 25

6.7K 686 66
                                    

"Kamu yakin sama keputusan kamu?" Bang Umar meneguk coklat panas dalam gelasnya.

Sekilas aku tersenyum sambil memandang ke arah lain. "Yup ..." jawabku mengedikkan bahu.

"Altaf partners milik keluarga Om Firman lho Han, are you sure?"

"Of course. Aku tahu kok Bang, tapi kan bukan Kak Alta yang pegang. Lagian kantor itu cabangnya kok,"

"Kalau dia tahu kamu apply ke sana terus diterima? I’m not sure, you will fine."

Aku menatap Bang Umar kesal, "kenapa?"

Bang Umar mendengus tertawa lalu kembali meneguk coklat panasnya lagi, "nothing, mau kamu dimana pun semoga jadi pilihan terbaik."

Kutatap wajah Bang Umar sambil memberinya sedikit senyuman. Bang Umar balas menarik kepalaku untuk bersandar di bahu kanannya. "You can do it, everything will pass … soon" katanya pelan.

Selepas isya aku dan Bang Umar duduk di depan teras. Memandangi jalanan depan rumah ditemani dua gelas coklat panas. Ide ini berasal dari Bang Umar. Tiba-tiba saja dia minta ditemani duduk santai di depan teras rumah. Katanya sedang ingin menikmati malam yang sedang cantik-cantiknya.

Aku masih ingat jelas kata-kata yang Shezan sampaikan padaku di siang hari minggu lalu. Aku tertawa getir mengingatnya. Entah apa yang sebenarnya aku sendiri rasakan. Yang jelas ada perasaan kesal. Padahal aku sendiri tahu, tidak ada alasan untuk harus kesal.

Is that for real? Aku sendiri masih terus bertanya-tanya mengenai penyebab perubahan sikapku yang condong semakin dingin. Apa sebenarnya permasalahannya? Sesulit itukah aku bisa percaya terhadap orang lain? Atau hanya aku yang terlalu percaya diri, dan salah menebak perlakuannya terhadapku belakangan ini.

Segala bentuk pertanyaan itu menguasai pikiranku setelah pengakuan Shezan. Hal itu juga yang membuat dadaku semakin terasa sesak. Aku menarik napas dalam-dalam, memandang Bang Umar yang kini menatap ke arah langit. Sejak tadi ia terus menanyakan keputusanku untuk mengapply ke salah satu anak cabang perusahaan milik Om Firman. At means ... milik Altamis juga.

"Abang gak tahu, kamu ngambil keputusan buat resign secepatnya karena hal apa. Semoga bukan karena kamu lagi marah, terus nerima tawaran Aliza buat kerja di Altaf partners."

Aku mendengus tertawa sambil mengedikkan bahu, "kayaknya bukan." jawabku.

"Selain Abang, siapa lagi yang tahu kamu apply ke Altaf partners?"

"Abang sama Aliza aja," jawabku berhati-hati.

"Kamu gak mau nunggu rekomendasian Abang? Atau terima tawaran Ibu?"

aku mengernyitkan dahi mencoba mengingat tawara yang dimaksud. "Tawaran Ibu … yang mana?"

Bang Umar menatap jahil ke arahku, "nikah sama anak temennya Ibu,"

Aku membulatkan mata sambil menutup mulut dengan tangan, "Reno maksudnya?"

"Yup, atau mungkin sama Andrew? Jauh-jauh lho dia datang ke sini." isengnya sambil tertawa.

"Ish ... Andrew nonis Abang."

"Yup, I know. Persentase kemungkinannya cuma tiga puluh persen." timpal Bang Umar.

Aku dan Bang Umar kembali tertawa sambil meneguk coklat panas masing-masing.

"How about Reno?" tanya Bang Umar yang hampir membuatku tersedak.

Aku segera berhenti mengaduk coklat panasku. "Why Reno?"

Bang Umar menggelengkan kepalanya membuatku semakin penasaran. "I don’t know. Kamu bebas memilih siapa yang akan menjadi pasangan kamu. Tapi ketika orang tua ngasih bantuan nyariin, gak ada salahnya juga kamu coba. Apalagi Abang liat Reno is good boy. Ya ... overall oke sih. Keluarga dan pribadinya juga seharusnya masuk ke kriteria kamu."

Cuti ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang