"Kau suka yang mana?""Mana saja."
"Bagaimana kalau yang ini?"
"Iya aku setuju." Jawab Jimin tanpa menoleh dari ponselnya. Dia memang sangat sibuk karena baru pulang dari China dan langsung menemaniku fitting baju pernikahan.
Sebenarnya aku sudah bilang kalau aku akan pergi berdua dengan ibuku saja, tapi Jimin bersikeras ingin hadir, mungkin dia masih merasa bersalah karena sudah menyeretku sampai sejauh ini.
H-10 pernikahan ku dan Jimin, semua urusan sudah ditangani oleh vendor terkemuka. Kerjaanku hanya bersolek, mengikuti rangkaian perawatan kecantikan, memilih baju dan perhiasan, tapi tetap saja aku sulit tidur.
Apakah ini keputusan yang tepat?
.
.
Hari itu, hari yang merubah takdir ku secara besar-besaran. Ketika aku bertemu Jimin pertama kali di meja makan keluarga ini.Aku memang di perkerjakan oleh ibu Jimin untuk mengajar kalkulus adiknya.
Selama 4 bulan mengajar tak sekalipun aku melihat Jimin, kecuali dari bingkai foto keluarga di ruang tengah, yang menunjukan foto Jimin menggunakan baju wisuda dari Universitas Stanford.
Aku dengar dari ibunya, sekarang dia sedang mengembangkan bisnis di China, pulangnya bisa setahun 2-3x saja.
Adik jimin laki-laki, sangat manja kepadaku. Jisung anak yang cukup pintar, tapi sering tidak mood untuk belajar. Ibu Jimin sulit mencari guru les untuk Jisung karena kebanyakan guru les profesional tidak mau menghadapi attitude bocah puber yang moodswing, maunya mengajar anak yang sudah pintar dari awal. Kalau aku sih sudah terbiasa. Aku punya 2 adik yang sedang masa puber juga. Aku sering dipukuli malah.
Sore itu Jisung sedang tidak mau belajar sama sekali, tapi aku sudah jauh-jauh sampai ke mansion mereka yang terletak di pinggiran kota ini. Setidaknya aku menghabiskan waktu 3 jam disini untuk mengajarnya.
Jisung membuatku menemaninya main basket, catur, sampai badminton.
Didalam rumahnya sedang agak heboh karna katanya Jimin akan pulang setelah setengah tahun belum pulang, ibunya memasak banyak makanan dan menahanku pulang agar ikut makan malam bersama.
Sambil mengeringkan keringat, aku dan Jisung mengobrol kecil, Jisung bilang dia mau belajar asalkan nanti sehabis makan malam.
Mau tidak mau aku akan pulang jam 10 malam lagi.
Kami sedang beres-beres bola dan net ketika ibu Jimin memanggil untuk masuk dan berbersih, aku disuruh mandi karena dari sore bermain diluar ruangan bersama Jisung.
Ibu Jimin ramping sekali, beliau meminjamkan aku baju selepas aku mandi dan baju terusan itu jadi ketat di badanku. 4 bulan bersama Jisung membuat aku ikut makan seperti bocah puber, kurasa aku naik sekitar 5 kilo.
Jimin sepertinya telat dari perkiraan datang, kurasa macet perjalanan di tengah kota menuju sini. Ibunya jadi sempat menata bunga, memvakum karpet sampai menata rambutku. Rambutku ditata dengan cantik sampai ditusuk bunga-bunga, aku jadi seperti bocah sd yang bermain jadi bidadari bidadarian. Efek tidak punya anak perempuan membuat ibu Jimin sangat hangat kepadaku, apalagi aku bisa menghandle anak bungsunya yang badung ini.
Tak berapa lama alarm mobil dikunci terdengar dan ibu Jimin berhambur keluar,
Aku melihat jimin datang dengan celana pendek krem dan kemeja putih lengan panjang yang digulung, lebih cocok dia menjadi idol daripada pengusaha, dia menyianyiakan wajah tampannya untuk belajar keras sampai kuliah ke Standford.
KAMU SEDANG MEMBACA
Brave Things (PJM)
FanfictionTidak pernah terpikir olehku kalau aku akan menikah diumur semuda ini, tidak hanya itu aku juga terpaksa meninggalkan seluruh kehidupanku dan ikut Jimin suamiku pindah ke negeri orang. Membuatku hanya bergantung pada sosoknya... bisakah aku melaluin...